Meniru Kiat Elit Militer dalam Memerangi Covid-19
Brigjen TNI Dr. Eri Radityawara Hidayat - Kepala Dinas Psikologi Angkatan Darat
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization atau WHO) telah menetapkan COVID-19 sebagai pandemi global yang dapat menyerang orang dalam jumlah banyak dan terjadi di banyak tempat dalam waktu yang bersamaan, dimana data menunjukkan lebih dari 80% pasien yang terpapar oleh Covid-19 hanya menunjukkan gejala ringan dan pada akhirnya berhasil disembuhkan, 14 % mengalami gejala klinis yang cukup parah seperti pnemoni dan kesulitan pernafasan, 5 % akan mengalami gejala kritis seperti kegagalan sistem pernafasan, dan 2 % tidak dapat tertolong lagi (World Health Organization, 2020).
Otoritas kesehatan pada dasarnya sepakat bahwa kunci untuk menjaga diri kita agar dapat bertahan dari serangan virus Covid-19 adalah melalui imun tubuh kita sendiri, yang didapatkan melalui olahraga yang teratur, tidur yang cukup, makan dengan gizi seimbang, serta penerapan perilaku hidup bersih seperti selalu mencuci tangan dengan sabun (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).
Pada saat ini, kita melihat bahwa banyak orang menjadi panik, stress, takut terpapar virus Covid-19, takut kehilangan orang-orang tercinta, ataupun takut kehilangan pekerjaan dan takut kehilangan masa depan. Dengan demikian, fenomena Covid-19, ternyata tidak hanya dapat mengganggu kesehatan fisik seseorang namun juga kondisi psikologisnya. Padahal kesehatan psikologis sangat penting bagi kita, karena kondisi psikologis yang sehat bisa mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir, bertindak, menangani stres dan menentukan pilihan-pilihan. Ketika kesehatan psikologis terganggu, maka kita akan mengalami stress dan tekanan, sehingga menjadi beban pikiran yang menyebabkan antara lain kesulitan untuk istirahat.
Kondisi ini tentunya akan menurunkan daya tahan tubuh yang kemudian akan mengganggu imunitas tubuh kita, sehingga kita justru akan lebih mudah terkena dampak buruk dari Covid-19. Karena itu, tantangannya pada era pandemi Covid-19 ini adalah bagaimana kita dapat mengatasi rasa takut?
Suatu definisi klasik dari stres diberikan oleh Lazarus dan Folkman (1984) adalah perasaan tertekan, terbebani dan frustasi, sebagai akibat dari adanya stressor yang berasal dari luar (eksternal) individu, yang dirasakan tidak seimbang dengan batas kemampuan, kompetensi, nilai atau konsep diri yang dimiliki seseorang. Dalam hal ini, salah satu kelompok yang terlatih dalam mengatasi rasa takut dan stres adalah kelompok militer. Militer direkrut, diseleksi dan dilatih untuk bertugas dalam tugas-tugas yang berbahaya. Dengan demikian mereka sudah terlatih untuk menghadapi situasi yang berbahaya. Untuk itu, kita dapat belajar dari bagaimana personal militer dapat mengatasi situasi stres dan menakutkan
Lamerson and Kelloway (1996) menemukan sumber stres pada prajurit bisa berasal dari stres tempur, baik yang dialami secara langsung (direct), ataupun yang merasa terekspose langsung (vicarious) karena rekan satu regunya mengalami pertempuran atau karena mendengar cerita dari rekan dekatnya, dimana stres tempur pada umumnya akan menimbulkan trauma (traumatic stressor). Selain stress tempur, seorang prajurit juga dapat mengalami stres kontekstual, yang juga seringkali disebut sebagai stress kronis yang muncul karena sifat dari penugasan seorang prajurit yang penuh tekanan, seperti pemisahan dari keluarga ataupun beban tugas yang berlebihan saat bertugas di daerah operasi.
Namun demikian, tidak semua prajurit akan mengalami stres yang bekepanjangan. Adler, Litz dan Bartone (2003) yang meneliti para prajurit yang bertugas dalam operasi perdamaian di negara lain menemukan bahwa keberadaan stressor dinilai melalui dua proses, yaitu Penilaian Utama (Primary Appraisal) yang dilakukan untuk menentukan kadar ancaman stressor yang muncul, serta Penilaian Sekunder (Secondary Appraisal), yang dilakukan untuk menentukan opsi yang dimiliki untuk mengatasi ancaman stressor tersebut. Dengan demikian, dapat saja seorang prajurit menilai suatu stressor bukanlah sebagai ancaman, ataupun yang bersangkutan menganggap memiliki solusi terhadap ancaman stresor tersebut sehingga ia tidak mengalami stress.
Dari penjelasan ini maka kita menyadari betapa pentingnya untuk mengetahui bagaimana prajurit dapat menghilangkan rasa takutnya sehingga ia tidak menilai stressor yang dihadapi sebagai ancaman yang berlebihan. Yang pertama, seorang tentara selalu didoktrin untuk berlatih dan berlatih. Ada ungkapan di TNI AD “Lebih baik mandi keringat dalam latihan daripada mandi darah di medan pertempuran” (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, 2016). Walaupun latihan tidak selalu dapat mensimulasikan keadaan yang sebenarnya, tetapi paling sedikit latihan bisa menyiapkan mental kita saat menghadapi kondisi yang sebenarnya. Psikolog, terutama psikolog olahraga mengenal konsep ini sebagai mental imagery, dimana para atlet membayangkan mereka berada di suatu pertandingan dan melakukan aktivitas-aktivitas yang terkait dengan keberhasilan atau kemenangan, dengan menggunakan semua panca inderanya, (Murphy, 1990). Karena itu, anda harus berpikir ke depan dan membayangkan bagaimana anda akan bereaksi dan berhasil mengatasi situasi yang sulit seperti misalnya terpapar Covid-19, sehingga pada saat stressor muncul, anda tidak perlu merasa stressor tersebut sebagai ancaman, dan sebaliknya anda memiliki solusi untuk mengatasinya.
Suatu penelitian terhadap para Komandan Peleton Angkatan Darat Amerika Serikat yang terlibat dalam pertempuran di Irak menunjukkan bahwa walaupun mereka takut, tetapi mereka menyadari bahwa mereka harus mengalahkan rasa takut karena para anggotanya akan berusaha mencari tanda-tanda dari dirinya tentang bagaimana harus bertindak (Murphy Jr., 2014). Jika anggotanya tidak percaya bahwa pemimpinnya dapat mengendalikan diri mereka sendiri, maka rasa takut itu akan menyebar kepada para anggotanya, dan tentu saja hal ini tidak dapat ditolerir. Sama halnya dengan Covid-19, rasa takut akan menular, dan kita harus bisa mengendalikan rasa takut tersebut agar tidak menyebar kemana-mana.
Untuk itu, kita harus menggunakan pendekatan psikologi positif agar rasa takut tersebut dapat dikalahkan. Martin Seligman (1975; 2011), seorang pakar psikologi positif yang juga menyelenggarakan stress management training bagi Angkatan Darat Amerika Serikat menemukan bahwa kondisi ketidakberdayaan adalah suatu kondisi yang dipelajari. Seorang belajar untuk menjadi tidak berdaya jika orang tersebut karena sudah beberapa kali menghadapi kegagalan, kemudian merasa menjadi tidak lagi memiliki harapan untuk keluar dari kondisi ketidakberdayaannya.
Jenderal Gordon Sullivan, mantan Kepala Staf Angkatan Darat Amerika Serikat ke 32 yang dianggap suskes dalam mentransformasikan organisasi Angkatan Darat Amerika Serikat saat berada pada kondisi terpuruk sebagai ekses dari kegagalan di perang Vietnam, mengatakan bahwa “harapan bukanlah suatu metoda”, untuk mengingatkan kita bahwa harapan untuk kondisi yang lebih baik di masa depan bukanlah dibentuk dari slogan ataupun perencanaan yang sempurna, tetapi terjadi karena tindakan nyata kita (Sullivan & Harper, 1996).
Dalam hal ini Kepala Staf Angkatan Darat pada saat ini, Jenderal Andika Perkasa, melalui perintah dan tindakannya dalam memerangi wabah Covid-19, telah menunjukkan langkah-langkah nyata yang dapat melawan perasaan ketidakberdayaan ini, baik dengan merenovasi secara cepat rumah sakit rujukan Covid-19 milik TNI AD, menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga medis, maupun memberi dukungan tenda lapangan bagi berbagai rumah sakit non TNI AD yang membutuhkannya (Lihat instagram tni_angkatan_darat).
Inti dari pesan beliau adalah jangan sampai kita terbelengu oleh rasa takut, dan tindakan nyata akan dapat mengatasi rasa takut tersebut. Dan mungkin ini adalah pelajaran terpenting yang dapat kita ambil dalam menghadapi pandemi Covid-19, yaitu hilangkan rasa takut, ikuti arahan otoritas kesehatan, dan lakukan tindakan nyata untuk mengalahkan virus Covid-19.
Salam Sehat, Salam Tangguh, Salam Kemanusiaan. Indonesia Pasti Bisa!