Kita, Masker, dan Kesadaran Diri
Tidak ada pandemi yang berhasil dikendalikan oleh vaksin
Kembalikeakar.com – Mengapa diterapkan lagi pembatasan sosial? Karena akhir-akhir ini penderita Covid-19 bertambah signifikan. Mengapa bertambah? Para pakar menduga karena masyarakat mulai berpergian dan berkumpul, saling mengunjungi kerabat, plus berekreasi ke tempat umum dengan tidak menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Ada pula kasus penyebaran Covid-19 berasal dari anggota keluarga yang bekerja di pusat kota dan membawa risiko bagi keluarganya di rumah. Kini ramai himbauan –yang juga sejak berbulan-bulan lalu- agar masyarakat disiplin menerapkan protokol kesehatan, yakni menjaga jarak, mencuci tangan, dan mengenakan masker.
Protokol yang terakhir ini, soal mengenakan masker, semakin kencang mendapat sorotan, karena itulah ‘tameng’ kita untuk mencegah penularan virus, namun tameng ini abai digunakan. Semakin disoroti juga karena masyarakat menyaksikan inkonsistensi penggunaan masker, baik oleh orang-orang di lingkungan sosial terdekat, tokoh publik/influencer, maupun pejabat yang bagi masyarakat adalah teladan.
Mengapa orang tidak (mau) pakai masker? Ada beberapa sudut untuk memandang persoalan ini. Menurut Steven Taylor, psikolog klinis dan penulis “The Psychology of Pandemics”, sangat wajar bahwa secara alamiah, orang bersikap menentang (rebel, resist) ketika diharuskan melakukan sesuatu. Mereka merasa kebebasannya dibatasi. Demikianlah perilaku sosial masyarakat. Dikutip dari cnn.com, David Abrams, profesor dalam bidang ilmu sosial dan perilaku, menambahkan bahwa bagi sebagian orang, mengenakan masker membuat mereka terlihat lemah atau terkesan takut. Untuk menunjukkan bahwa mereka tidak takut, mereka tidak mengenakan masker.
Bayangkan ketika seseorang yang taat mengenakan masker masuk ke lingkungan di mana orang-orang tidak pakai masker, ia ini seperti dipandang ‘aneh’ oleh mereka dan kalau ia tidak kuat-kuat amat rasa percaya dirinya, mungkin malah ikut melepas masker ketika berada di sana. Pada masa lampau, manusia purba juga berperilaku serupa, tidak mau menunjukkan rasa takut ketika ada bahaya, untuk memberikan perasaan aman buat diri mereka sendiri. Apakah ini suatu kecenderungan yang diwariskan?
Kita juga paham bahwa mengenakan masker tidak selalu nyaman, baik untuk berkomunikasi, bekerja, dan berolahraga. Alasan-alasan ini turut memengaruhi sikap terhadap penggunaan masker.
Kalau mau diakui, mungkin sebenarnya masyarakat, atau kita, sedang berada di posisi bingung, mesti ambil sikap apa untuk menyikapi pandemi ini. Bersikap takut, was-was, sehingga lebih baik tetap di rumah, tetapi di sisi lain ada kebutuhan mendesak untuk menafkahi keluarga. Atau sebaliknya, mengkonfrontasi rasa takut dengan bersikap berani, yakin tidak akan sakit, lalu bersikap tidak perlu berjaga-jaga, atau malah ada yang menganggap covid tidak ada. Aturan penerapan protokol yang tidak konsisten, termasuk juga sikap pejabat publik, turut berdampak pada kebingungan ini. Secara psikologis, situasi ketidakjelasan memancing dorongan manusia untuk memegang kendali diri, tidak ingin diatur.
Ditambah pula, tidak dipungkiri bahwa sense of crisis masyarakat Indonesia secara umum masih rendah. Sense of crisis dapat dikatakan sebagai kepekaan terhadap adanya krisis atau perubahan. Mengutip Prof. Jaya Suprana dalam webinar Kemanusiaan Mahkota Peradaban, orang Indonesia mempunyai keunikan dalam hal karakter, “Kesaktian manusia Indonesia baru muncul kalau kepepet.” Beliau mengistilahkan “kepepetisme” untuk karakter manusia Indonesia yang baru bergerak dan bertindak kalau sudah kepepet, dalam waktu singkat. Mitologinya sudah banyak, misalnya cerita Sangkuriang yang membuat perahu dalam waktu satu malam, Bandung Bondowoso yang harus membuat 1000 candi dalam waktu semalam, yang mana model cerita semacam ini jarang ditemukan dalam mitologi di negara lain. Barangkali sikap kepepet ini membentuk mentalitas kita, misalnya saja baru mengerjakan karya kalau sudah mendekati deadline, baru pakai helm kalau di ujung jalan terlihat pos polisi, dsb. Pembaca boleh menyanggah atau tidak setuju, bila sebenarnya mentalitas kita nggak gitu-gitu amat, kok, masih punya kesadaran sendiri dan bisa menyadari atau bahkan mengantisipasi potensi krisis.
Bicara tentang kesadaran diri, kita boleh bertanya pada diri masing-masing, apakah kesadaran untuk menerapkan protokol kesehatan ini sudah dimiliki dalam diri atau kita memang masih memerlukan contoh, teladan, atau role model dari orang lain? Apakah ketaatan kita bergantung pada pejabat idola menerapkan itu atau tidak, artis idola dan youtuber menganjurkan itu atau tidak? Di sinilah perlunya berpikir kritis, untuk memahami dampak pilihan perilaku kita pada diri sendiri dan orang lain. Dengan adanya pemahaman ini, tentu tidak sia-sia para jurnalis yang mewartakan semakin penuhnya lahan pemakaman khusus covid.
Kesadaran diri juga mencakup body awareness, aspek sederhana namun seringkali luput. Sesederhana memahami kalau tubuh sedang tidak fit, maka beristirahatlah di rumah tidak perlu bertemu orang. Apabila gejalanya jelas terlihat, kita mudah mengenalinya, tetapi bagaimana kalau tidak ada gejala sakit, atau pada Covid-19 disebut OTG (Orang Tanpa Gejala)? Pada akhirnya hanya diri sendiri yang tahu apabila kondisi tubuh sedang drop (pernyataan ini tidak berlaku untuk anak-anak karena umumnya proses pengenalan diri mereka belum secanggih orang dewasa). Misalnya saja, mulai merasa pegal, penglihatan buram, bersin-bersin, tenggorokan kering, cepat lelah, dsb yang bisa kita kenali sebagai kondisi yang tidak biasa. Ini alarm tubuh yang perlu dikenali. Dengan menyadari ini, kita bisa menentukan aktivitas atau makanan apa yang perlu dihindari dan diasup agar imunitas tubuh kembali baik.
Setelah bisa berpikir kritis, mengenali kondisi tubuh, dan paham esensi dari protokol kesehatan, ujian berikutnya ada pada ketahanan diri untuk menjalani pilihan sikap sehat setiap harinya. Pernyataan epidemiolog Dicky Budiman bahwa tidak ada pandemi yang berhasil dikendalikan oleh vaksin, rasanya bisa memantik kesadaran baru agar kita kembali pada kemampuan luhur manusia yang mampu menciptakan pilihan hidup sehat.
Referensi:
Andrew, Scottie. 2020. The psychology behind why some people won’t wear masks.