“Cancel Culture”, merdeka yang kelewatan?
In the end, as a youth generation, be smart for what you read, act and do
Kembalikeakar.com – “You are so cancelled!”. Sering dengan ucapan seperti ini di sosial media? ‘Cancelling’ atau istilah kerennya ‘Cancel Culture’ menjadi salah satu fenomena pro-kontra di decade ini.
Sederhananya, cancel culture dapat diterjemahkan sebagai suatu keadaan dimana individu, kelompok atau lembaga, dianggap ‘blunder’ saat melakukan perbuatan atau ucapan diluar ‘normality’. Akibatnya, mereka kemudian di ‘cancel’ oleh publik, dengan menggiring mass opinion untuk tidak lagi mendukung karya ciptanya. Di un-follow, di-cancel, singkatnya. Lalu ‘dibenarkan’ karena sudah menjadi bagian dari budaya masa kini, benarkah?
Mantan presiden Barrack Obama melalui diskusi Obama Foundation Summit, menyoroti tentang cancel culture bukanlah activism, tetapi bentuk bullying yang rentan terjadi, khususnya di kalangan generasi muda.
Mengapa generasi muda terkait erat dengan fenonema cancel culture?
Kemunculan ‘online activism’ dan Social Justice Warrior (SJW) memicu kecenderungan sikap defensif saat ada pendapat lain yang tidak disukai. Label cancel culture inilah yang digunakan untuk menghindari perdebatan kritis.
Daftar Isi
Where it all began?
Pada suatu masa, cerita ini berawal dari kedengkian dua orang bersaudara, Cassius Longinus dan kakak iparnya, Marcus Brutus. Mereka menghasut beberapa orang untuk melegitimasi pembunuhan terhadap Julius Caesar, sang pemimpin. Demi mencegah Caesar yang ingin dinobatkan menjadi raja di Roma, dua saudara ini merekrut rekan-rekan sesama petinggi kekaisaran Roma sejumlah 80 orang.
Akhirnya, 80 orang ini bersepakat bahwa dengan membunuh Caesar, keadaan dapat menjadi lebih baik. Julius Caesar terbunuh dengan 23 tusukan oleh para senatornya sendiri di Theatre Pompey, Roma.
Kisah ini dipercaya sebagai aksi cancel culture pertama di dunia. Diksi ‘cancel culture’ sudah terjadi sejak zaman romawi kuno, 44 tahun Sebelum Masehi. Bukan hal baru, nyatanya.
Kembali di era modern, di awal tahun 2020 ada kejadian demonstrasi besar di seluruh penjuru Amerika Serikat, terpantik dari meninggalnya warga kulit hitam, George Floyd.
Demonstrasi mengusung gerakan Black Lives Matter (BLM) merupakan aksi sosial anti rasisme yang nilainya memang patut diperjuangkan. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan ketika ada fakta baru dari kasus ini. Saluran berita AS menayangkan late release video-cam dari salah satu polisi di tempat kejadian. Video memperlihatkan George Floyd sebetulnya melakukan tindakan perlawanan kepada polisi, ia sudah sesak nafas sebelumnya akibat menderita claustrophobic (takut terhadap tempat sempit / tertutup).
Dalam hal ini, lembaga kepolisian di Amerika Serikat mengalami cancel culture yaitu adanya rasa ketidakpercayan dari public, yang akhirnya menyulut demonstrasi massa untuk menyuarakan rasisme polisi AS.
Politicians and Celebrities are the easiest people to target
Di Indonesia, teringat jelas peristiwa salah ucap mantan gubernur DKI Jakarta yang mendapat perlakukan cancel culture. Protes yang dimulai dari segelintir orang menuju puncaknya, dikenal sebagai demonstrasi 212. Snowballing effect-nya masih berkepanjangan, sampai sekarang.
Selebriti, public figure, selebgram atau selebtwit juga merupakan target empuk untuk ‘korban’ cancel culture. Tidak dapat dipungkiri mereka adalah pusat perhatian, the so-called influencer, sehingga apapun yang mereka lakukan, menjadi konsumsi publik, terutama bagi fans dan followers nya.
And who are the cancel culture celebrities of the year?
Masih ingat skandal KDRT Johnny Depp dan Amber Heard? Awalnya Amber Heard mengatakan Johnny Depp telah melakukan tindakan kekerasan selama 18 bulan pernikahan mereka. Netizen marah, ‘menyerang’ Depp dengan menggunakan tagar / hashtag kebencian terhadap Depp.
Akan tetapi setelah visum dan pemeriksaan mendalam, terbukti bahwa Amber Heard, sang istrilah yang melakukan aksi KDRT terhadap Depp, mulai dari melempar panci ke wajah Depp hingga memukulnya. Cancel culture-pun berpindah dari Depp ke Amber Heard.
Kaum selebriti lain yang tengah mengalami cancel culture adalah Ellen DeGeneres dengan whistle-blower dari ketertindasan karyawannya serta JK Rowling dengan statement transphobic-nya. Para followers termasuk fans dari kedua tokoh ini juga ikut memboikot untuk tidak lagi mendukung hasil karya mereka.
How cancel culture colliding the independence way of thinking?
Disatu sisi, pelaku / penghasut cancel culture membenarkan tindakan ini sebagai bentuk ‘free speech’ dan bentuk ‘activism’. Tetapi disisi lain cancel culture juga cerminan anti kebebasan berpendapat. A two-sided coin, mengapa?
Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap individu boleh mengutarakan pendapat pribadi, karena ini merupakan hak dan kebebasan. Free speech tidak dilarang, setidaknya di negara-negara merdeka, demokrasi dan liberal. Bisa menjadi toxic ketika pelaku mulai menyebarkan / menghasut orang lain dengan apa yang mereka anggap benar. Sebuah pemboikotan kolektif.
Fenomena yang sudah dianggap ‘budaya’ ini di validasi sebagai landasan logis. Justifikasi atas pendapat personal walaupun berakar dari emosi, tanpa adanya akuntabilitas.
Bagaimana tanggung jawab moral terhadap orang yang di‘cancel’? Apakah ini moral witch hunting? Haruskah ini menjadi suatu aksi penghakiman atas nama ‘culture’ ? Label kebebasan generasi muda yang ditolerir ? Merdeka yang kelewatan?
Perdebatan cancel culture merupakan jalan panjang berliku. Jurnal, artikel, podcast mengenai cancel culture sedang hangat dibahas dan tentunya diperdebatkan.
In the end, as a youth generation, be smart for what you read, act and do. Know the rules well and use your independence thinking wisely. Just a little reminder in this wild harsh world.