counter free hit invisible
Masyarakat dan Sejarah

Apa bedanya menjadi remaja di Tahun 90-an?

Kembalikeakar.com – Ketika dahulu dipanggil di depan rumah berkali-kali nggak nyaut, bisa dicap sombong. Apalagi sampai ada pertanyaan, Kok dia nggak pernah nongkrong ya?

Jangan dianggap sepele, kata-kata itu hadir sebagai aturan sosial di setiap lingkungan sosial pertemanan remaja. Namun bisa juga pertanyaan itu merupakan bentuk ungkapan kekhawatiran dan rasa peduli lingkungan pertemanan terhadap kita.

Kehidupan pertemanan yang dialami angkatan remaja tahun 90-an memang unik. Bila ingin bertemu di malam minggu, janjian dilakukan terlebih dulu di hari Jumat dengan memberi informasi spesifik akan dijemput di mana. Janji adalah janji. Tidak bisa untuk tiba-tiba enggak datang. Bahkan untuk menjalin chemistry dalam pergaulan agar tetap akrab dan intim, puluhan nomor rumah milik teman pun ingat di luar kepala. Sebuah skills yang tidak dimiliki generasi abad ke 21.

Apakah remaja pada masa tahun 90-an benar-benar memiliki perasaan belongliness yang kuat antara dirinya dan kelompok sebayanya?

Bagi angkatan remaja yang besar di tahun 90an, ada perasaan keterikatan yang kuat antara dirinya dan kelompok pertemanan. Ada momen begini, jam istirahat dipakai tuk nongkrong dengan teman di kantin. Jam pulang sekolah pun juga kembali nongkrong. Dalam keyakinan ingatan pemilik brand Urbain.inc Rico Lubis, “Itu ril, ada ikatan batin”, yang melewati masa remajanya di Perguruan Cikini dan SMU 3 Jakarta.

Ketika belum hadirnya smartphone dan media sosial di lini kehidupan, remaja banyak menghabiskan waktu pada kegiatan outdoor dan berinteraksi tatap muka secara langsung. Bila kita membaca majalah remaja HAI edisi lawas, kita bisa menemukan beberapa kegiatan luar ruang yang dilakukan remaja pada masa itu. Seperti anak SMA 2 Purwokerto yang beramai-ramai membagikan ikan asin di sekitar Gunung Slamet kepada penduduk setempat. “Kalo gue bela-belain naik bus untuk main basket.”, kata Rico.

Nuansa nongkrong yang dialami angkatan remaja 90an begitu intimate karena keberadaan mereka justru sepenuhnya hadir saat itu juga. Bila saat ini ketika nongkrong kita dibarengi dengan bermain handphone dan menghabiskan waktunya hanya tertuju tuk membicarakan hiburan-hiburan yang kita konsumsi, tren terkini, konten yang viral, project mau bikin apa, situasinya berbeda dengan nongkrong anak remaja pada masa itu. Mereka benar-benar menyediakan waktu sepenuhnya di malam minggu sebagai ruang berbagi kabar dan curhat satu sama lain.

“Malam minggu adalah momen hari nongkrong sama temen seangkatan. Berapapun duit di kantong, lo mau curhat soal cewe, gue dengerin.”, cerita Rico.

Bisa dibilang lingkungan pergaulan pada masa 90an itu sangat suportif. Remaja pada masa itu menganggap peer group atau kelompok sebayanya sebagai ruang untuk saling bertukar perasaan dan permasalahan pribadi sehari-hari secara langsung. Yang mana men­­-tackle isu rasa kesepian yang mencuat pada generasi muda saat ini. Menurut Dr. Muhammad Faisal, dalam Generashi Phi, “Perasaan kesepian adalah persepsi bahwa tidak ada yang men-support, tidak ada yang mendukung, dan melihat diri seorang anak muda secara positif.”

Hubungan pertemanan pun tidak diukur transaksional semata seperti langsung memikirkan apakah bisa collab dan bisa dijadikan konten. Ukuran pertemanan pada masa itu tidak ada unsur saya maupun kamu bisa dan punya apa, punya followers banyak atau enggak, namun sesederhana asik dan nongkrong. Bahkan untuk untuk dapat di-approve masuk ke dalam lingkungan pergaulan dan ngeblend dengan kakak kelas, kuncinya adalah asik dan pede. “Since day one, gue udah bikin mereka ketawa. Lo bayangin nggak, ada 1200 orang di kantin, gue sama Gofar pake spidol permanen jadi Pak Raden, pake sedotan yang ala handsfree.”, cerita Rico.

Kehidupan lingkungan pergaulan yang dijalani oleh angkatan remaja 90an sangatlah menarik. Ada unsur keintiman, keakraban, kesederhanaan, dan suportif satu sama lain. Sehingga remaja tidak merasa teralienasi dari lingkungan sosial. Remaja pun juga memiliki ruang bebas untuk berbagi persoalan pribadinya kepada kelompok sebayanya, persoalan yang tidak atau terasa tabu bila dibagikan ke orang tua. Nongkrong sangatlah meaningful bagi angkatan mereka. Lebih mudah memfilter ini orang baik atau enggak. “Waktu lo banyak habis di media sosial, sementara periode lo lagi waktunya nongkrong terus, sayang kalau nggak di eksplor.”, tutup Rico.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button