Berpikir kritis menghadapi kewajaran baru – new normal
Kembalikeakar.com – Tidak setiap orang tahan untuk memakai masker terus-menerus sepanjang hari. Tidak setiap orang tahan untuk tidak nge-mal (jalan-jalan ke mal), tidak jajan, dan tidak berpergian. Betul sekali, setiap kita memiliki keterbatasan. Tidak selalu tahan dan sanggup. Maka terjadilah pelanggaran aturan. Muncullah pemakluman dan dispensasi. Setiap kita juga memiliki alasan masing-masing ketika tidak bisa menaati aturan.
“Maka, akui keterbatasanmu, bukan menjadi sombong di atas angin.”
Pernyataan ini mungkin tidak mudah diterima. Biasanya, pelanggaran dilakukan oleh orang yang ingin menunjukkan kehebatan dirinya, superioritas dirinya, membuktikan bahwa ia pasti lolos, tidak tersentuh sanksi. Terdengar sangat percaya diri, ya. Lalu, mengapa dikatakan keterbatasan?
Orang-orang yang melakukan pelanggaran pada dasarnya memiliki keterbatasan, mereka sulit mengendalikan dirinya. Karena sebenarnya, ada banyak orang lain yang mampu menjalankan aturan, mampu menahan diri untuk tidak sering berpergian kalau tidak perlu, memaksa dirinya untuk tetap memakai masker, dan menjaga jarak fisik ketika berada dalam keramaian. Maka, ketika kita termasuk orang yang memiliki keterbatasan, tidak setahan dan sekuat orang yang mampu untuk taat aturan, ada baiknya sadar diri.
Barangkali sebagian kita terampil mengkritisi apa saja, termasuk aturan dan himbauan. Tidak setuju dengan aturan yang ada dan memiliki argumen untuk menyanggah. Kita mungkin berlindung di balik konsep ‘berpikir kritis’. Tampaknya kita perlu memahami benar-benar pengertian dari berpikir kritis. Benar adanya bahwa berpikir kritis itu berarti tidak serta-merta menerima atau menolak sesuatu. Namun, berpikir kritis bukan berarti segera menolak hal-hal yang dikatakan orang lain, termasuk himbauan dan aturan. Bukan pula langsung melayangkan kritik dan menghakimi pihak lain, alias menjadi tukang kritik. Juga, bukan artinya menggunjingkan orang lain, ya.
Dalam pengertian yang sederhana, berpikir kritis adalah kemampuan membuat penilaian yang didasari pemikiran rasional, logis, sistematis, dan objektif terhadap sesuatu yang dilakukan atau diyakini. Orang yang berpikir kritis selalu mengecek sumber informasi, bertanya, terbuka terhadap kritik, selalu menimbang sisi baik dan buruk atau pro dan kontranya sebelum memutuskan sesuatu. Bila perlu, ia akan menantang asumsi dan menawarkan pandangan baru. Kendati demikian, orang yang berpikir kritis berusaha menekan kecenderungan egosentrisnya agar bisa memperoleh pemahaman yang akurat.
Situasi kewajaran baru atau kebiasaan baru sudah dekat di depan mata. Mari melatih diri berpikir kritis sebelum bertindak. Sesederhana menanyakan kepada diri sendiri alasan mengajak anak kecil ke pusat perbelanjaan, risiko apa yang akan dihadapi, cara preventif apa yang bisa dilakukan untuk meminimalkan risiko, seperti apa protokol atau panduan “do and don’t” yang ditetapkan.
Sesederhana memahami gunanya masker dan jaga jarak. Apabila berhadapan pada aturan yang ambigu, kita bisa mengeceknya dengan mencari sumber informasi tambahan. Dengan memahami tujuan besar yang mau dicapai, yakni menciptakan masyarakat yang saling menyehatkan, pada umumnya kita bisa mengambil sikap mandiri dan berdaya, tidak sekadar ikut-ikutan. Karena bagaimanapun juga, sehat dan sakitnya masyarakat berdampak pada kehidupan kita masing-masing.