Kembalikeakar.com – Bayangkan bila kamu hidup di zaman dahulu. Zaman saat perang kerap melanda. Zaman dimana fasilitas medis belum canggih. Alkohol untuk pengobatan belum diketahui. Terluka bisa membuat kita terbunuh oleh infeksi. Dokter pada saat itu masih terbatas dan kamu harus menempuh jarak yang jauh dengan jalan kaki untuk mencapainya. Ya, infrastruktur dan kendaraan masih belum sehebat saat ini. Orang terdekat mu pun tidak mengetahui kondisi mu, karena whatsapp dan telepon belum ditemukan. Kamu hidup di zaman keterbatasan dan kekurangan. Tentu hal tersebut akan membuat dirimu mudah depresi.
Ketika kamu refleksi ke masa kini, kamu akhirnya dapat lebih bersyukur, namun kamu merasa agak janggal. Perang tidak ada, fasilitas medis kian canggih, infrastruktur dan transportasi kian modern, kamu bisa kapan saja dan dimana saja menghubungi orang tersayang, informasi yang tersedia buanyak sekali di internet. Akhirnya kejanggalan mu semakin nampak “Di zaman era digital yang serba ada ini, kita sebagai millenial kok masih bisa merasa depresi ya?”.
Globalisasi, modernisasi, dan demokrasi tak serta merta membuat kita imun dari depresi. Dimana pun dan kapan pun kamu berada, perasaan depresi dapat terjadi. Perbedaannya terletak pada situasi. Dahulu depresi terjadi di era yang serba kekurangan. Sekarang depresi terjadi di era yang serba berlebihan. Terasa aneh tapi nyata. Di era digital, sadar ataupun tidak sadar 4 hal ini dapat membuat milenial merasa depresi:
Daftar Isi
The Self Destruct of Instant Pleasure
Hidup di zaman dahulu yang serba kekurangan artinya sulit mencari makanan enak seperti fastfood friedchicken, hiburan Netflix, dan game online portable yang asyik. Namun, sulitnya akses segala hiburan yang memberikan kebahagiaan instan ini membuat orang-orang zaman dahulu lebih mudah fokus dan lebih mudah produktif.
Sedikit kebahagiaan instan untuk diri sendiri terasa baik. Namun terkadang orang-orang mudah tergelincir sehingga terlalu banyak mengambil kebahagiaan instan. Katakanlah dalam hal pekerjaan. Dalam mengerjakan sesuatu terkadang kita merasa jenuh dan stress. Bermain game atau menonton Netflix sambil memakan pizza terasa membahagiakan. Tak terasa diri kita dibawa hanyut dalam suasana film atau game yang kita mainkan. Awalnya kamu berucap “Ok aku main game atau nonton 30 menit aja deh terus kerja lagi”, lalu sensasi kebahagiaan instan yang terberi membuat mu ketagihan sehingga pekerjaan mu tertunda. Tugas semakin menumpuk, tugas selesai tidak optimal dan tanpa sadar bagai memupuk bom self destruct yang dapat memberikan ledakan penyesalan. Penyesalan membuat mu menyalahkan diri sendiri. Menyalahkan diri sendiri membuat mu merasa stress. Merasa stress membuat mu ingin mencari kebahagiaan instan lagi. Hal tersebut berputar bagai loop tak berujung. Hingga menimbulkan perasaan depresi.
The Up and Down of Perfectionism
Siapa disini yang tidak mau keinginannya terkabul? Tentunya kita semua mau bila keinginan kita terkabul. Termasuk orang di sekitar kita. Oleh karena itu kita berusaha memenuhi tuntutan kita dan orang sekitar kita untuk meraih keinginan kita. Memiliki keluarga yang harmonis, berwajah rupawan, kerja dengan gaji yang tinggi, rumah dengan halaman luas dan kolam ikan, berpendidikan Doktor, dan sebagainya. Konstruksi sukses dibangun berdasarkan pencapaian dalam hidup. Baik oleh iklan-iklan media yang berkata “Wujudkan impian mu dengan meraih hadiah rumah 2 tingkat!”, hingga dikonstruksi oleh orang terdekat kita yang berkata “Tuh liat Si Samson udah punya rumah, mobil, naik haji lagi, Sukses banget tu orang”.
Konstruksi agar menjadi sukses membuat orang berlomba meraih impian mereka. Membuat mereka berlomba untuk menjadi sempurna. Tapi ketika individu kembali mereview kehidupan mereka saat ini. Mereka melihat banyak sekali hal yang tidak sempurna dalam hidupnya. Membuat orang-orang merasa kecewa dan sedih. Kecewa dan sedih karena tidak dilahirkan di keluarga orang kaya, hubungan kekeluargaan yang meregang karena kesalahan masa lalu, dan rencana masa depan yang menjadi kacau balau karena pandemi. Semuanya menyisakan rasa bersalah dan penyesalan. Hingga menimbulkan perasaan depresi.
It’s Not Okay Not To Be Okay
“..Social media jual beli surga..”.
Lirik dari band Feast ini sangat terasa sekali di era digital. Segala konten bijak, pencapaian kehidupan, dan momen bahagia. Hal tersebutlah yang membuat kita mendapat follower, like, share dan pujian. Orang-orang lebih tertarik mendengar kisah sukses daripada kisah gagal dari seorang motivator Mario Teguh (Padahal mungkin terdapat puluhan kegagalan untuk mencapai satu kesuksesan). Lebih dekat lagi, bahkan mungkin orang-orang lebih tertarik mendengar momen kebahagiaan mu daripada momen kesedihan mu. Mengungkapkan perasaan sedih, stress dan depresi terasa aneh. Apalagi di kalangan laki-laki, yang sejak kecil kerap diajari dengan kalimat “Laki-laki ga boleh nangis, harus kuat!”. Emosi alami sedih ini menjadi terkekang dan tak tersalurkan. Hingga menimbulkan perasaan depresi.
Don’t Happy Be Worry
Berada di era digital, berarti hidup di era paparan informasi yang sangat banyak. Akses yang banyak membuat kita memiliki pilihan yang banyak pula. Katakanlah dalam hal belajar, kita dapat memilih belajar di Sekolah Umum, Sekolah Islam, Home Schooling, atau Sekolah Online semacam Ruangguru? Tentunya masing-masing pilihan memiliki konsekuensi yang berbeda. Semakin bervariasi pilihan di era digital, artinya semakin bervariasi pula konsekuensi yang ada.
Hidup di era digital juga sarat akan perkembangan. Cepatnya inovasi dan perkembangan peradaban membuat ketidakpastian semakin menjadi-jadi. Sebut saja fenomena bit-coin dan crypto currency lain, seketika dapat membuat orang mendadak kaya, seketika dapat membuat orang mendadak miskin. Dunia profesi seperti supir angkot pun mulai merasakan dampaknya, tergerus dengan teknologi Gojek dan para kompetitor lainnya. Di masa depan, tak menutup kemungkinan profesi mu pun dapat tergantikan. Kecemasan akan ketidakpastian masa depan semakin terasa. Oleh karena itu orang-orang berusaha memaksakan dirinya untuk bekerja terlalu keras. Tak peduli tekanan yang dihadapi dari bos dan rekan kerja, yang penting tabungan masa depan menumpuk, sehingga masa pensiun dapat dihabiskan dengan bahagia. Dengan kata lain, bekerja mengorbankan kebahagiaan masa kini yang sudah pasti, untuk kebahagiaan masa depan yang belum pasti. Kecemasan akan ketidakpastian membawa kita pada skenario overthinking yang belum tentu ada. Hingga menimbulkan perasaan depresi.
Apakah kamu dalam beberapa waktu terakhir mengalami perasaan sedih, cemas, putus asa, sulit tidur atau tidur berlebihan, mudah tersinggung, menangis tidak terkontrol, dan kecenderungan ingin bunuh diri? Bila iya, mungkin kamu perlu puasa dari aktifitas social media atau bahkan mencari bantuan professional terdekat, karena bisa jadi kamu mengalami depresi. Klik link berikut untuk informasi layanan kesehatan mental .
https://www.intothelightid.org/tentang-bunuh-diri/daftar-penyedia-layanan-kesehatan-mental/