counter free hit invisible
Berdikari

Kompas Biasa VS Peta Canggih

Perkembangan teknologi maupun informasi di era industri 4.0 sangatlah deras namun akar kita belumlah kuat, hingga pemuda memilih untuk merdeka, merdeka untuk memilih identitas yang sejatinya bukan mereka

Kembalikeakar.com – Pada suatu pulau terdapat dua bajak laut yang sedang bertarung memperebutkan lampu ajaib. Mereka adalah janggut merah dan janggut putih. Pertandingan sangat sengit dan berakhir seri hingga akhirnya mereka setuju untuk menggosok lampu ajaib bersamaan, dan… POOF! Jin keluar. Ia hanya mengambulkan satu permintaan. Keduanya meminta hal yang sama, mereka ingin pergi ke pulau kebahagiaan.

Sang jin memberi dua pilihan ’Untuk mencapai pulau kebahagiaan silahkan pilih, apa kau mau peta yang canggih atau kompas yang biasa saja ini’. Janggut putih berpikir dahulu sebelum memilih, janggut merah sebaliknya, ia bertindak sebelum berpikir, ia langsung meminta sebuah peta yang canggih dan sangat kaya akan informasi nan rinci. Janggut putih dengan tatapan curiga kepada sang jin akhirnya mengambil kompas biasa yang tersisa. Akhirnya kedua bajak laut berlayar.

Peta janggut merah terlalu detil semakin banyak dan luas informasi yang diberikan semakin ia bingung dan tersesat. Sedangkan janggut putih dengan kompas yang biasa ia terus berlayar, melalui derasnya ombak, badai maupun pelangi selepas badai, hingga akhirnya janggut putih mencapai pulau kebahagiaan.

Dongeng tersebut saya buat khusus untuk Anda di hari kemerdekaan Indonesia. Merdeka! Menurut KBBI merupakan keadaan berdiri sendiri/bebas. Namun saya kira kita terlalu bebas, kebebasan dapat membuat kita lena dan abai. Alih-alih kebebasan menandakan kita sebagai subjek yang dapat berdiri kuat, nyatanya banyak diantara kita menjadi objek yang empuk.

Hari Kemerdekaan Indonesia 75
Sumber : Sekneg HUT RI tahun 2020

Saat like instagram berubah menjadi atensi diri, saat followers berubah menjadi self esteem diri, saat sosial media menjadi panggung sandiwara untuk transaksi jual beli surga, saat identitas budaya sendiri terdistorsi oleh masifnya paparan budaya asing, saat ondel-ondel, suling sunda, kuda lumping hanya seharga hiburan receh di jalanan, saat pemuda Sunda lebih familiar akan “How you like that Blackpink” dan “Bubuybulan” manuk dadali dan lagu daerah mereka’ malah terasa asing, saat bahasa asing dianggap updated sedang bahasa daerah dianggap outdated, saat kita menjadi mereka bukan kita.

Perkembangan teknologi maupun informasi di era industri 4.0 sangatlah deras namun akar kita belumlah kuat, hingga pemuda memilih untuk merdeka, merdeka untuk memilih identitas yang sejatinya bukan mereka. Informasi yang diberikan industri 4.0 sangat banyak hingga sulit terfiltrasi, referensi kebahagiaan menjadi masif namun belum tentu baik, prank influencer memang membahagiakan diri namun mengorbankan kebahagiaan orang lain, binge eating atau mukbang seakan memframing kebahagiaan menjadi hedonism yang overdosis, giveaway seakan mensublime pesan bahwa transaksi pemberian kebaikan jangan ikhlas.

Padahal sejatinya pemuda Indonesia memiliki gen empati yang kuat serta jiwa kolektif yang kuat. Banyak bukti bahwa pemegang media massa termasuk sosmed memang dapat merubah aspek psikologis seseorang, Penelitian membuktikan bahwa framing berita yang dibawa kearah negatif dapat membuat perilaku massa ke arah negatif (mari kita refleksikan ke media berita Indonesia). Dan semakin intens screentime bermedia sosial semakin depresif pula seseorang, menimbulkan masalah kesepian, kecemasan, maupun fear of missing out (mari kita refleksikan ke diri kita). Ya. Semakin melihat eksternal semakin kita galau akan internal.

Dunia semakin runyam, menekan kita untuk tidak idealis, namun bila termakan realita yang miris maka ibu pertiwi semakin meringis. Satu sisi, idealisme akan passion atau “do what you love” membuat pemuda bekerja menjadi kutu loncat dan egosentris. Seyogyanya kita perlu mengkombinasikan idealisme yang egosentris dan kebutuhan Indonesia dengan altruis. Dengan melakukan aktualisasi diri yang merupakan kombinasi identitas/jati diri, what you love, what you are good at, what the world/Indonesia needs, dan what you can  be paid for untuk menjadi pegangan hidup.

Daripada berpaku pada peta canggih industri 4.0 yang menjebak dengan tumpukan informasi. Kita hanya perlu berpaku pada kompas biasa, aktualisasi diri kita. Terus berlayar, melalui derasnya ombak, badai maupun pelangi selepas badai. Untuk memajukan Indonesia dengan otentik sebagai bentuk jiwa Nasionalisme tuk mencapai pulau kebahagiaan yang bernama self fulfillment.

Tulisan ini terinspirasi dari:

  • Faisal, M. (2017). Generasi phi π (pengubah Indonesia): memahami mienial pengubah Indonesia. Republika Penerbit.
  • Faisal, M. (2020). Pasar dan karir kembali ke akar: Masa depan dunia kerja bagi generasi pandemi. Retrieved from http://www.kembalikeakar.com/pasar-dan- karir-kembali-ke-akar-masa-depan-dunia-kerja-bagi-generasi-pandemi/
  • Lanier, J. (2010). You are not a gadget: A manifesto. Vintage.
  • Pinker, S. (2011). The better angels of our nature: Why violence has declined.New York: Viking Penguin.
  • García, H., & Miralles, F. (2017). Ikigai: The Japanese secret to a long and happy life. Penguin.
  • Twenge, J. M., Joiner, T. E., Rogers, M. L., & Martin, G. N. (2018). Increases in depressive symptoms, suicide-related outcomes, and suicide rates among US adolescents after 2010 and links to increased new media screen time. Clinical Psychological Science, 6(1), 3-17.

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button