Kembali ke Akar Semangat lewat Dokumenter ‘The Last Dance’
Kembalikeakar.com – Siapa yang tidak mengenal Michael Jordan, enam kali juara NBA, enam kali pula MVP final play-off, lima kali menjadi pemain terbaik NBA (1988, 1991, 1992, 1996, 1998), dua kali emas olimpiade, mengalahkan moonstars bersama Tunesquad di Space Jam dan segudang prestasi lainnya. Tiada pemain basket bahkan atlit lainnya yang memiliki prestasi segemilang dirinya. Etos kerja tingkat tinggi ditunjukkan hingga dirinya dianggap menjadi dewa dari olah raga ini.
Orang pada umumnya mengetahui bahwa MJ (Michael Jordan) dalam meraih prestasinya selalu didukung pemain-pemain kelas kakap. Nama-nama seperti Scottie Pippen, Dennis Rodman, Tony Kukoc, H-Grant hingga pelatih Phil Jackson dianggap memudahkan karirnya untuk mendapatkan cicin juara. Namun pada episode 1-2 dalam series “ The Last Dance ” kita langsung disuguhkan masalah besar yang ada dalam tim Chigago Bulls ini. Alur dokumenter maju-mundur yang diceritakan melengkapi kisah tahun terakhir tim ideal Chicago Bulls (1997-1998) ini. Siapa sangka ternyata, masalah di luar lapangan menghiasi karir tim ini bahkan melebihi satu dekade.
Salut untuk keputusan produksi ‘The last dance’ yang diambil untuk menayangkan dua bulan lebih awal dari tanggal seharusnya. Menyaksikan genre olahraga mengobati jutaan pemirsa yang haus tontonan dikala seluruh kompetisi dihentikan akibat pandemi. Untuk generasi usia 30 tahun keatas semacam nostalgia, untuk generasi Z merupakan nutrisi sport knowledge. Bahwa untuk mencapai keberhasilan selalu saja ada rintangan yang mendampingi setiap langkah. Hanya mereka yang memiliki kegigihanlah yang akan berhasil.
Secuplik tanpa masuk membocorkan cerita dari dokumenter ‘The last dance’, sebuah tim dan icon olahraga ternyata mampu untuk mengubah stigma negatif terhadap sebuah kota seperti Chicago. Bahkan, salah satu narasumber ‘The last dance’ presiden Barrack Obama mengatakan bahwa ia bersyukur kota ini (Chicago) dikenal sebagai kota olahraga ketimbang ingatan masyarakat bahwa kota ini juga adalah kota Al-Capone.
Banyak hal menarik yang dapat diambil dari dokumenter ‘The last dance’. Semisal, pada tahun 1993 atas kepergian ayah Michael Jordan, dirinya hengkang dari tim bahkan memulai bermain baseball secara profesional. Setelah 21 bulan dari penampilan terakhir Michael Jordan di NBA, di suatu kesempatan pres konferens Presiden Bill Clinton mengeluarkan pernyataan,
“The economy has produced 6.1 million jobs since I became president and if Michael Jordan comes back to the Bulls, it will be 6,100,001 jobs. Yes, this was being watched. It was the biggest sports story of the year. And nothing happened. It was the second biggest sports story in the last 21 months.”
(NBA.com/I’m Back)
Betapa besar dampak seseorang yang memiliki etos kerja terlewat tinggi ini mampu memberikan pandangan lain tidak hanya kota, presiden, bahkan dunia.
Merujuk dari kisah series ini semoga pegiat dokumenter seperti Ananda Badudu, Dandhy Dwi Laksono, Chairun Nissa, Garin Nugroho, Riri Riza dan sutradara juga produser lainnya terpancing untuk membuat karya serupa. Demi mengingatkan generasi saat ini akan nama-nama besar atlit-atlit era 80-90an di Indonesia.
Michael Jordan, Scottie, Dennis Rodman bersama Zen Master aka Phil Jackson ditambah Dwayne Wade mengambil narasi ‘The Last dance’ saat mereka menyadari saat ini adalah akhir yang manis untuk dikenang. Narasi tersebut mendorong mereka untuk bermain lebih fokus secara seratus persen, bak menari mengisi setiap minute-play di dalam pertandingan. Mencetak banyak highlights dan juara untuk menjadi imbalannya. Hingga timbul pertanyaan, mengapa kita harus tunggu mulai menari saat kita tahu ada moment terakhir? Bagaimana jika kita mulai di tengah pandemi? Untuk seluruh sahabat kembali ke akar…. Apa yang kita tunggu? “ Let’s dance!”