counter free hit invisible
Imajinasi Peradaban Masa Depan

Pangan dan Politik Kewargaan

Kembalikeakar.com – Memasuki usia ke-75 tahun, kemerdekaan Negara Republik Indonesia merupakan momen yang tepat untuk merefleksikan perjalanan kemerdekaan menuju tujuan kemerdekaan yang sudah ditetapkan bersama oleh para pendiri negara ini. Perayaan kemerdekaan kali ini sungguh sarat akan makna, mengapa demikian? Karena kita sebagai bangsa yang ada dalam rumah besar bernama Indonesia menghadapi tantangan yang berat yaitu beradaptasi dan sekaligus melaju di tengah pandemi Covid-19.

Saya mencoba mengobservasi dan merefleksikannya dalam ukuran yang mikro bagaimana pola perilaku kita warga perkotaan sebagai anak bangsa beradaptasi dan sekaligus melaju di tengah krisis. Hal ini merefleksikan gen dan semangat kita sebagai warga nusantara, yang selalu mampu beradaptasi dalam segala tantangan, dan memiliki kekuatan untuk terus melaju dengan segala sumber daya yang tersedia.

Salah satu bentuk perilaku yang dilakukan warga yang menjadi perhatian selama pandemi adalah bertani atau berkebun dalam ruang-ruang yang tersedia. Kegiatan ini tidak saja sebagai sarana mengisi waktu ataupun rekreasi ketika sebagian waktu aktivitas kita berkurang drastis akibat adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam kondisi Pandemi Covid-19. Namun melampaui itu, bertani yang dilakukan sebagian warga perkotaan adalah soal kemandirian pangan dan kesadaran warga atas ketahanan pangan.

Sumber : Sekneg HUT RI tahun 2020

Bertani atau berkebun terkait erat dengan kemampuan memproduksi pangan yang beraneka ragam yang bertujuan menjamin pemenuhan kebutuhan pangan. Pengalaman berdiam diri selama PSBB dalam rentang waktu tertentu telah memicu setiap orang untuk berpikir ulang soal pemenuhan kebutuhan pangan. Lebih jauh lagi, warga didorong untuk berpikir kritis; sejauh mana pemerintah pusat maupun daerah dapat memenuhi kebutuhan pangan setiap peorangan atau rumah tangga selama masa PSBB.

Atas pengalaman tersebut, warga tersadarkan untuk mandiri dalam pemenuhan pangan rumah tangga, antara lain seperti; buah-buahan (jeruk, terong, pepaya, jambu, tomat, pisang, semangka, dll), sayur mayur (kangkung, bayam, selada, sawi, kacang panjang, pare, cabai dll), dan umbi-umbian. Dapat dikatakan kegiatan bertani atau berkebun masyarakat perkotaan adalah adaptasi dan respon terhadap kondisi yang disebabkan oleh pandemi. Di samping itu juga kegiatan tersebut sekaligus bentuk pengejawantahan konsep subsidiaritas yang diartikan secara singkat sebagai berdayanya kelompok kecil atau komunitas dalam masyarakat (RW, RT, dan rumah tangga).

Lebih jauh lagi, baik disadari maupun tidak disadari, kegiatan bertani ataupun berkebun di kawasan pekotaan telah berdampak pada restorasi kesuburan tanah dan pengelolaan air yang berdaya guna, serta menyumbang udara bersih. Ini telah membentuk ekosistem pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture) di tingkat komunitas, yang dimulai dari proses pengolahan tanah, pengelolaan tanaman budi daya, panen dan aktivitas pasca panen, pengelolaan limbah secara efisien, pengurangan penggunaan pestisida untuk menekan dampak negatif bagi lingkungan; tanah, air, dan udara.

Apabila hal tersebut diintensifkan serta menjadi suatu gerakan semesta, maka sangat dimungkinkan konsep pertanian keluarga yang organik (organic family farm) dapat ditingkatkan menjadi komunitas berkebun (community gardening). Pada tingkatan komunitas berkebun semangat kolektivitas warga berwujud aktivitas mengolah lahan maupun merawat tanaman secara bersama-sama. Dalam hal ini lahan dapat berupa lahan yang dimiliki secara perseorangan ataupun lahan yang merupakan lahan publik.

Sumber : Sekneg HUT RI tahun 2020

Akan tetapi, dalam tingkatan yang lebih ekstrim, dapat saja kegiatan berkebun dalam format berkebun secara gerilya (guerilla gardening), merupakan suatu pertarungan untuk mendapatkan sumber daya, juga pertarungan melawan kelangkaan tanah, perusakan lingkungan, dan pemancafaat ruang ataupun kesempatan yang telah disia-siakan. Unsur yang paling nampak dari gerakan ini adalah kentalnya unsur melanggar hukum (illicit) karena sejatinya gerakan ini acapkali menggunakan ruang atau lahan tanpa seizin otoritas publik ataupun pemilik (Reynolds, 2009).

Namun, dalam konteks masyarakat Indonesia, berkebun secara gerilya adalah ekspresi warga terhadap banyaknya ruang-ruang yang terbuang secara sia-sia ataupun kondisi degradasi lingkungan yang ditranformasikan menjadi ruang atau hal yang memiliki manfaat besar bagi sesama.  Dalam hal ini adalah pemenuhan pangan secara mandiri, estetika ruang, dan restorasi tanah, air, serta udara.

Bila kita merefleksikan lebih jauh, pengembangan komunitas berkebun secara serius tidak saja menghadirkan pangan secara mandiri bagi komunitas maupun rumah tangga yang berbasis solidaritas, namun membentuk rantai pasokan pangan di dalam suatu wilayah, dan pada tahap tertentu membuka pasar pangan lokal (local food) yang meningkatkan ekonomi lokal yang berorientasi pada keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. Ini merupakan suatu refleksi dari sosialisme Indonesia yang bersendikan gotong royong dan kekeluargaan.

Dengan demikian imaginasi Hobbiton dan wilayah Shire yang dihadirkan oleh JRR Tolkien dalam dua bukunya yang termasyur, yaitu; the Hobbit dan the Lord of the Rings adalah suatu keniscayaan di masa mendatang.

Di sisi yang lain juga, kegiatan tersebut telah menghadirkan kembali politik kewargaan yang berbasis kehidupan bersama atau gotong royong. Kegiatan bertani ataupun berkebun yang melibatkan warga kota dalam satu ruang lingkup dan komunitas telah menghidupkan kembali semangat republican, di mana semangat tersebut terefleksikan dari peran aktif warga negara dalam mengambil tanggung jawab untuk terlibat dalam urusan publik, yakni; kemandirian pangan.

Sumber : Sekneg HUT RI tahun 2020

Hal yang terpenting adalah juga soal civic virtue dalam wujud seperti aktivitas asosiasional, nalar publik, partisipasi politik dan komitmen terhadap kemasalahatan bersama. Intervensi tradisi republikan dalam studi kewargaan mendorong munculnya studi-studi lain yang memberi tekanan pada masyarakat sipil sebagai bentuk kehidupan bersama yang ideal (Walzer 1992). Bila kita refleksikan dalam lintasan sejarah perjalanan bangsa ini, maka semangat republikan dan civic virtue adalah dapur pacu yang memberi semangat para pemuda maupun tokoh-tokoh pergerakan pada masa itu untuk memerdekaaan negeri ini sehingga berbentuk suatu Republik.

Sebagai catatan khusus, kemandirian pangan adalah energi yang menghidupi perjalanan suatu negara dan warganya, terlebih lagi ketika berkelindan dengan krisis, baik perang, bencana alam, maupun bencana non alam. Tanpa pangan, tidak ada satu pun negara yang mampu menyintasi tantangan-tantangan yang muncul secara lancar.

Maka dalam studi strategi, terdapat tiga maksim utama yang berasal dari Sun Tzu (Art of War, Chapter III) yang berkorelasi erat dengan kemandirian pangan. Pertama, “to subdue the enemy without fighting is the acme of skill”. Kedua, “those skilled in war subdue the enemy’s army without battle. They capture his cities without assaulting them and overthrow his state without protracted operation”. Terakhir “know the enemy and know yourself in hundred battles you will never be in peril; When you are ignorant of the enemy but know yourself, your chances of winning or losing are equal”.

Dari ketiga hal ini terdapat beberapa poin penting yang bisa ditarik, pertama hilangnya kemampuan suatu bangsa dalam produksi pangan secara mandiri sekaligus akses terhadap pangan meningkatkan kerentanan negara tersebut untuk ditundukan oleh lawan tanpa diserang atau keadaan tertentu. Maka inisiatif warga atau komunitas terkecil dalam pengadaan pangan mandiri harus selaras dengan kebijakan otoritas publik (nasional, provinsi, dan kota/kabupaten) agar menjadi kekuatan nasional.

Terakhir, mengetahui kekuatan dan kelebihan diri adalah esensial dalam setiap kondisi. Maka dalam konteks hari ini pengadaan, akses, dan keamanan pangan serta daya dukung lingkungan adalah hal yang rentan yang patut kita sadari. Maka hal ini hendaknya menjadi perhatian serius bagi pembuat kebijakan maupun setiap warga sebagai penanda kebangkitan kembali di tengah krisis pada usia ke 75 tahun kemerdekaan.

Nicky Fahrizal

Peneliti Dept. Politik dan Perubahan Sosial CSIS Jakarta

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button