Mengapa Anak Muda Perlu Ke Baduy
Suku Baduy terbagi menjadi dua: Baduy Luar (Panamping) dan Baduy Dalam (Tangtu)

Kembalikeakar.com – “Siang malam ku selalu menatap layar terpaku untuk online, online, online, online..”. Ngena banget ya lagu Saykoji, apalagi buat para anak muda kekinian. Jujur saja saya pribadi dalam kehidupan sehari-hari kerap tak bisa lepas dari internet. Satu hari saja tanpa internet terasa berat. Saya merasa takut ketinggalan informasi penting, makannya saya senantiasa update di internet.
Seluruh dunia ada di internet, ada di genggaman tangan mu. Hiburan? Ada Netflix dan Spotify yang siap menemanimu. Mau pergi kerja? Ada Gojek dan Grab. Mau jajan atau jualan? Shopee bisa Go food juga bisa. Bingung sama urusan kerjaan atau kuliah? Googlein aja. Sakit? Halodoc aja ga perlu repot. Bahkan cari jodoh pun bisa di Tinderin aja.
Terpapar hingar bingar internet mengenalkan saya dengan kerennya BTS, EXO dan Drakor lain. Money Heist, Game of Thrones dan Justin Bieber pun tak kalah keren, sampai-sampai lifestyle saya mengikuti mereka biar keliatan keren gitu. Lifestyle udah keren, mengendarai motor gede dengan outfit bak artis Korea sambil mendengar lagu BTS. Saya berhenti di pertigaan lampu merah. Disajikan hiburan kuda lumping, ondel-ondel, maupun suling sunda di pinggir jalan yang membuat saya termenung. “Apakah hal ini merupakan cerminan kalo budaya kita hanya seharga receh jalanan?”.
Keseharian saya yang berinternet ria membuat saya dikeroyok banyak informasi, membuat saya tersesat ditengah hutan rimba dunia maya. Bingung ingin pergi kemana, sering kali membuat saya mengikuti kerumunan algortima digital dan tren kekinian. Pergi jauh keluar Negeri, hingga lupa untuk pulang ke Negri sendiri. Dimana lagu ‘Baby..Baby..Baby Oh My Baby..’ Justin Bieber lebih familiar daripada lagu ‘Mesat ngapung luhur jauh di awang-awang’ Manuk Dadali (bahkan saat ini pun mungkin kamu kebingungan menyanyikan lirik lagu tradisional tersebut).
Agar tidak menjadi turis di Negeri sendiri, beberapa hari lalu saya pergi ke perkampungan adat Baduy di Ciboleger, Lebak, Banten. Menelusuri jejak leluhur saya, suku Sunda. Disana kamu bisa memilih ditemani tourguide atau tidak. Kalau saya pada saat itu sih tidak dengan tourguide agar bisa merasakannya lebih alami.
Perlu diketahui bahwa suku Baduy terbagi menjadi dua: Baduy Luar (Panamping) dan Baduy Dalam (Tangtu). Perbedaan sederhananya ialah bila Baduy Dalam sangat ketat dalam mematuhi larangan adat (Pikukuh) dan mereka berpakaian putih. Sedangkan Baduy Luar agak longgar dalam mematuhi larangan adat dan mereka berpakaian hitam-biru. Disana kamu bisa merasakan sensasi menjadi Indiana Jones yang menelusuri artefak-artefak jejak leluhur ditengah era modern. Menyaksikan emoticon riil warga, merasakan segarnya air conditioner alam, dan asyiknya deep learning Amanat Buyut yang ga ada di google.
Nah, sebagai anak muda tentunya kita pernah dibuat bingung akan situasi yang menuntut kita untuk memilih menjadi baik atau benar? Peristiwa dilematis seperti kalau mau jadi baik ya ngasih contekan biar teman lulus kuliah, kalau mau jadi benar ya jangan ngasih contekan biar teman lulusnya mandiri dan kompeten. Penuh perdebatan bahkan di tongkrongan mu sendiri. Dari dulu saya ingin mencari jawaban filosofis ini. Namun ternyata jawabnya tidak ada di ujung langit seperti lagu Dragon Ball melainkan ada di suku Baduy. Amanat buyut “Nu ulah kudu diulahkeun (yang jangan harus dilarang), Nu enya kudu dienyakeun (yang benar harus dibenarkan)” menganjurkan kita untuk menjadi benar daripada baik. Dengan demikian bila menjadi benar ya kita tidak memberi contekan ketika ujian agar teman kita sukses secara mandiri dan berdikari. Saya pun dikejutkan penelitian psikologi yang nunjukin kalau mencontek disekolah ternyata dapat berpengaruh ke perilaku korupsi di suatu Negara loh. Andai saja amanat buyut diinternalisasi saat ini, maka bukanlah mustahil Indonesia terbebas dari korupsi.
Linking Cheating in School and Corruption
Hebatnya jejak leluhur ga hanya disitu aja. Kamu juga mungkin menganggap bahwa kehidupan suku Baduy sangat primitif. Bagaimana tidak dalam kesehariannya saja tidak menggunakan sepatu dan sandal atau istilah mereka ‘nyeker’. Namun saya dikejutkan dengan penelitian tentang earthing, sebuah pengobatan alam semesta yang mentransfer elektron bumi pada tubuh dengan cara ’nyeker’. Bahkan dengan menapaki bumi secara langsung dapat membuat kualitas tidur kita menjadi lebih baik. Ga percaya? Boleh dicoba.
Earthing: Health Implications of Reconnecting the Human Body to the Earth’s Surface Electrons
Saya pun pada saat itu mencoba merasakan sensasi jalan sambil nyeker di perkampungan Baduy. Berkeliling sambil berbincang dengan para suku lokal. Ketika berbincang, saya diberi tahu oleh bapak Juhedi sebagai warga Baduy bahwa rumahnya dibuat oleh warga secara gotong royong atau istilah lokalnya ‘rereongan’, jadi tak perlu mengeluarkan uang banyak-banyak untuk menyewa buruh kasar. Dan uniknya mereka tidak mengenal klasifikasi kedudukan atau jabatan ataupun status ekonomi, mereka bersatu padu antara pimpinan adat dengan anggota masyarakat, laki-laki dan perempuan semua berpartisipasi secara bersama-sama. Sebagai anak muda kota yang di era modern ini kerap terpapar konstruksi hedonisme dan kapitalisme tentulah saya tidak paham mengapa mereka mau bersusah payah tanpa imbalan materi. Bahkan sebagian dari kita mungkin di cap bodoh bila bekerja menolong tanpa ada upah lelah. Tetapi pada kenyataanya kebahagiaan dan keceriaan dalam bergotong royong malah terpancar di wajah mereka.
Manusia tampaknya sudah diwariskan secara genetik rasa untuk mendapatkan kebahagiaan dari menolong sesama. Bahkan eksperimen neurologi MRI (Magnetic Resonance Imaging) menunjukkan bahwa ketika kita memberi kepada orang lain, pusat kesenangan di otak kita menyala. Studi tentang pelepasan oksitosin – perasaan – hormon ‘nafsu dan kepercayaan’ menunjukkan bahwa cahaya hangat pelepasan hormon ini dipicu secara khusus ketika orang lain mengakui atau membalas tindakan kebaikan kita. Sehingga, secara alami otak sosial kita mendorong kita untuk membalas kebaikan. Balas-membalas kebaikan inilah yang menciptakan siklus kebahagiaan sehingga terciptalah kebahagiaan abadi.
The Hidden Wealth of Nations 1st Edition
Mindblowing memang. Saya sendiri bingung mengapa para leluhur bisa sekeren ini. Saya semakin yakin bila anak muda meresapi tradisi, budaya dan sejarah maka membangun peradaban semakmur Wakanda di film Black Panther bukanlah ide yang utopis. Sebenarnya masih banyak artefak-artefak jejak leluhur disana yang belum saya ketahui. Saya membutuhkan bantuan mu, para anak muda untuk mengungkap artefak jejak leluhur kita. Karena ketika kamu sadar masa depan bisa dicipta namun masa lalu tidak. Disitulah tradisi, budaya dan sejarah serasa berharga.