counter free hit invisible
Berdikari

Mendidik Integritas di Lingkungan Remaja

Pelajarilah akhlaknya sebelum engkau mempelajari ilmunya

Kembalikeakar.com – Ketika membaca biografi Imam Malik, ada bagian yang menarik perhatian saya yakni pesan yang disampaikan oleh Ibunda Imam Malik ketika sang Imam yang kala itu masih remaja hendak pergi menuntut ilmu. Pesan Ibunda Imam Malik tersebut ialah “Pelajarilah akhlaknya sebelum engkau mempelajari ilmunya”. Dari pesan Ibunda Imam Malik tersebut, dapat ditarik suatu hal penting bahwa proses pendidikan tidak hanya terkait dengan pewarisan ilmu saja, namun juga sangat berperan dalam pewarisan karakter atau dalam bahasa Ibunda Imam Malik tersebut disebut dengan akhlak.

Dalam menjalani kehidupannya kelak, seseorang tidak hanya memerlukan ilmu belaka, namun juga karakter atau nilai-nilai kebijaksanaan yang menjadi pedoman hidup dan tercermin dalam laku hidup sehari-hari. Kala pandemi Covid – 19 negeri kita Indonesia, kita semua dikejutkan atau bahkan boleh jadi dikecewakan dengan adanya berita pihak-pihak yang melakukan tindak pidana korupsi, lebih-lebih yang menjadi objek korupsi adalah bantuan sosial yang ditujukan untuk membantu masyarakat yang sedang terdampak pandemi Covid – 19 saat ini. Peristiwa itu tentunya menjadi alarm bagi kita semua yang mengingatkan tentang pentingnya mendidik generasi penerus untuk dapat menerapkan laku integritas dalam hidupnya.

Ada ragam pandangan tentang makna integritas, namun ringkasnya saya memahami integritas sebagai suatu keteguhan untuk hidup dengan nilai – nilai yang baik agar tidak merugikan orang lain. Mendidik integritas kepada generasi penerus tidaklah dilakukan dengan semata – mata cara mengajarkan definisi integritas kepada para pelajar. Ki Hajar Dewantara dalam konsepsi pendidikannya menyampaikan bahwa proses pendidikan itu berarti belajar tentang empat hal, yakni :

  1. Belajar olah pikir
  2. Belajar olah rasa
  3. Belajar olah karsa
  4. Belajar olah raga

Menilik pada konsepsi pendidikan Ki Hajar Dewantara tersebut, maka saya memahami bahwa pendidikan tentang integritas berada pada dimensi belajar olah rasa. Ketiga dimensi lainnya tentu juga akan terlibat dan diperlukan dalam mendidik integritas, namun dimensi belajar olah rasa tentunya akan menjadi dimensi yang dominan dan paling banyak harus diasah berkaitan dengan integritas ini. Integritas akan muncul dan diasah ketika para murid berinteraksi dengan orang lain dalam kehidupan nyata. Integritas akan terbentuk manakala setiap orang memiliki empati kepada orang lain. Oleh karena itu dimensi belajar olah rasa menjadi dominan dalam hal ini karena belajar integritas akan lebih terpaku dalam diri manakala telah mendapatkan pengalaman yang langsung dirasakan.

Pengalaman saya sebagai pengajar pada ekskul Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) pada tingkat pelajar SMP menunjukkan bahwa mengajarkan integritas kepada para remaja melalui olah rasa atau pengalaman langsung adalah cukup baik. Kelompok Ilmiah Remaja merupakan suatu kegiatan ekstarkurikuler yang kegiatannya berfokus pada pembelajaran seputar aktivitas penelitian ilmiah. Para pelajar yang tergabung dalam KIR tersebut tidak hanya belajar tentang cara – cara melakukan penelitian dan menuliskannya dalam karya tulis ilmiah, namun juga belajar tentang sikap atau laku dalam kerja ilmiah. Sikap dalam kerja ilmiah ini adalah fondasi yang penting bagi para pelajar dalam melakukan penelitian dan kelak ketika sikap ini tertanam menjadi karakter dirinya, maka itu akan bekal yang baik dalam hidup bermasyarakat. Penelitian adalah suatu aktivitas yang temuannya dapat memberikan kebaikan dan juga dalam hal-hal tertentu keburukan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu penting sekali bagi seorang peneliti tidak hanya memiliki ilmu yang baik saja, namun juga nilai – nilai kebaikan yang akan menjadi pemandunya dalam melakukan penelitian dan juga bagaimana memanfaatkan temuan hasil penelitiannya. Integritas yang saya maknai sebagai komitmen untuk menjalani hidup selaras dengan nilai-nilai kebaikan yang diyakini, merupakan salah satu sikap dalam kerja ilmiah yang harus dimiliki oleh seorang peneliti. Oleh karena itu pembelajaran bahkan pembentukan karakter integritas bagi para murid di KIR adalah hal yang penting untuk dilakukan guru pembimbing KIR.

Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk membentuk karakter integritas, khususnya terhadap para pelajar yang beranjak remaja. Terhadap murid-murid saya di KIR pada tingkat SMP, saya menerapkan pembelajaran integritas melalui berbagai kegiatan. Pola pembelajaran integritas ini, saya pikir tidak hanya bisa diterapkan dalam kegiatan KIR saja, namun dalam kegiatan lainnya khususnya pada para pelajar yang berada pada jenjang usia remaja. Ada ragam kegiatan yang dapat digunakan untuk membentuk integritas, namun karena titik tekan pembelajaran integritas adalah pada dimensi belajar olah rasa, maka pada umumnya cara – cara yang saya gunakan bersifat menghadirkan peristiwa secara langsung di hadapan para siswa.

Pembelajaran kepada para remaja tentunya memerlukan pendekatan yang juga sesuai dengan sifat-sifat umum para remaja. Murid-murid saya di KIR adalah para remaja awal yang masih berada ada tingkat SMP. Para remaja di usia tersebut, umumnya mereka punya energi yang luar biasa, serta rasa ingin tahu yang tinggi, yang juga disertai rasa solidaritas yang tinggi antar teman namun juga memiliki hasrat yang kuat untuk menonjolkan eksistensi diri mereka. Pengalaman saya selama berinteraksi dengan mereka, membuat saya memilih bahwa pendekatan yang paling tepat dengan mereka khususnya ketika memberikan pembelajaran pada aspek-aspek yang berkaitan dengan nilai – nilai adalah pendekatan dengan diskusi rasional dalam hubungan yang setara sebagai teman atau partner mereka. Tentunya tahap awal yang harus dilakukan adalah mendapatkan kepercayaan mereka, sehingga selanjutnya kita bisa membangun diskusi yang akrab yang berisi dialog perihal rasionalitas di balik nilai-nilai yang memang harus menjadi pegangan bersama dalam hidup bermasyarakat. Tentunya pada tahapan ini kita juga harus siap dengan aneka pertanyaan kritis mereka, yang nantinya pertanyaan -pertanyaan itu akan membuat mereka melakukan refleksi atas rasionalitas nilai-nilai kebaikan. Dengan demikian pendekatannya bukanlah pendekatan yang sifatnya indoktrinasi yang sama sekali tidak membuka ruang dialog. Refleksi rasional terebut tidak hanya dapat dibangun lewat dialog atau obrolan saja namun juga lewat pemberian tanggung jawab kepada mereka yang akan menghadirkan pengalaman langsung bagi mereka bahkan boleh jadi termasuk pengalaman – pengalaman dilematis ketika nilai – nilai kebaikan harus berbenturan dengan relaitas yang tidak baik.

Ragam cara yang saya tempuh untuk menghadirkan langsung peristiwa kepada murid-murid sehingga diharapkan dapat menghadirkan refleksi-refleksi yang nanti akan menumbuhkan karakter integritas dalam diri para murid, antara lain saya lakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

  • Membuat kesepakatan kelas

Pertemuan pertama kegiatan ekskul selalu saya isi dengan pembuatan kesepakatan kelas. Kelas bisa diumpamakan sebagai suatu masyarakat yang beraneka ragam. Apalagi kelas saya adalah kelas ekskul, yang isinya adalah para pelajar dari berbagai kelas baik yang setingkat (sama – sama kelas 8 tapi berasal dari kelompok kelas yang berbeda, misalnya kelas 8A dan 8C, dst) atau berbeda tingkat (kelas 7, 8 dan 9 SMP). Keragaman yang begitu nampak tersebut tentunya menghadrikan kepentingan dan kebutuhan yang berbeda, oleh karenanya saya membuka ruang bagi mereka untuk membangun suatu kesepakatan kelas diantara mereka sehingga sedapat mungkin nuansa kelas dapat menjadi seyaman mungkin untuk mereka semua. Pembuatan kesepakatan kelas saya serahkan sepenuhnya kepada para siswa, saya hanya memberikan rambu-rambu saja, yakni kesepakatan kelas tidak boleh melanggar aturan sekolah, membebani para siswa dan juga membahayakan para siswa.

Pembuatan kesepakatan kelas menghadirkan pengalaman langsung kepada para siswa bahwa dalam sebuah kelompok ada keragaman kebutuhan, kepentingan dan juga boleh jadi nilai – nilai yang berbeda. Dalam membuat kesepakatan tersebut mereka akhirnya juga belajar untuk berempati pada hal-hal berbeda dari orang lain dan tentunya saling menegosiasikan nilai-nilai yang sedapat mungkin bisa mereka sepakati untuk dipatuhi bersama untuk kenyaman bersama selama proses belajar setidaknya sepanjang satu semester ke depan. Setelah kesepakatan tersebut, maka mereka akan berlatih untuk berkomitmen mematuhi nilai-nilai atau hal – hal yang telah mereka sepakati sepanjang mereka mengikuti ekskul KIR tersebut. integritas mereka dalam mematuhi kesepakatan kelas tersebut akan diuji sendiri oleh mereka selama satu semester.

  • Murid menilai murid lainnya

Menilai orang lain, menrut saya bisa menjadi suatu latihan yang baik untuk membentuk integritas. Dalam menilai orang lain, khusnya dalam hal ini adalah hasil kerja murid lainnya diperlukan kejujuran dan juga objektifitas walau boleh jadi terdapat konflik pribadi atau konflik kepenting antara yang menilai dan yang dinilai. Oleh karena itu dalam kegiatan KIR yang saya bimbing, saya selalu merancang beberapa kegiatan yang mana dalam kegiatan tersebut penilaian atas pekerjaan seorang murid dilakukan oleh murid lainnya. Oleh karena karakteristik kegiatan KIR yang menuntut keterbukaan pikiran, maka kegiatan yang penilaiannya dilakukan oleh siswa biasanya saya rancang dalam kegiatan yang bukan sekedar mencocokkan jawaban dengan kunci jawaban yang tersedia. Dengan demikian para siswa harus benar – benar menilai secara rasional dan objektif, yang paling sering dilakukan adalah para siswa saling menilai ide penelitian atau hasil penelitian yang telah atau sedang dilakukan oleh siswa lainnya (seperti gambar ilustrasi tulisan ini). Tentunya tidak ada kunci jawaban sebuah penelitian, namun penilaian tentu bertumpu pada standar-standar objektif sebuah penelitian yang baik. Dalam hal ini tentunya integritas siswa, khususnya kepada sikap objektif dan juga kepatuhan atas etika penelitian diuji secara langsung.

  • Menonton film dan membaca kisah para tokoh.

Buku dan film adalah media belajar lainnya yang saya gunakan untuk membentuk karakter integritas kepada murid-murid saya. Dalam kegiatan KIR saya menggunakan media film untuk merangsang munculnya diskusi seputar kode etik ilmuwan atau kode etik penelitian. Begitu juga untuk pembelajaran seputar sejarah IPTEK, saya umumnya menugaskan para siswa untuk membaca biografi para ilmuwan (saya biasanya menggunakan buku komik seri tokoh dunia). Pasca membaca atau menonton film itu tentunya saya membuka ruang diskusi yang menerima aneka pertanyaan kritis, khususnya tentang bagaimana ilmu pengetahuan digunakan, apakah untuk kebaikan atau keburukan, apa yang menurut para siswa merupakan tindakan yang tepat atau tidak tepat dari seorang ilmuwan. Dan bagian dari kisah-kisah yang telah mereka lihat atau baca yang menurut mereka penting bagi mereka, khsuusnya terkait dengan kegiatan KIR.

Ada beragam cara untuk mengajarkan dan membentuk integritas, namun pendidikan untuk membentuk integritas tidaklah semata-mata menjadi tugas sekolah saja. Ki Hajar Dewantara pernah menyampaikan tentang Tri Pusat Pendidikan, yakni keluarga, sekolah dan lingkungan. Pembangunan karakter integeritas harus berjalan di ketiga pusat pendidikan tersebut, sebanyak apapun sekolah mengajarkan integritas, namun ketika di lingkungan atau di keluarga, sang anak justru diperlihatkan perilaku yang tidak mencerminkan integritas, maka tiada artinya pendidikan integritas di sekolah-sekolah. Pendidikan integritas terbaik hanya dapat dihadirkan jika kita para orang dewasa menghadirkan teladan integritas kepada anak – anak kita di tri pusan pendidikan tersebut.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button