counter free hit invisible
Mengenal Diri

Travel Shaming: Wabah Baru di Tengah 2020

Makna sebenarnya mempermalukan orang yang memilih untuk tidak travelling, karena dianggap “mainnya kurang jauh”

Kembalikeakar.com – Pandemi menyita banyak waktu, energi, dan kewarasan kita. Tidak salah, jika sebagian orang kemudian memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak ke luar kota untuk me-recharge kembali energi mereka. Hal ini tentu tidak selalu mendapat tanggapan yang positif. Banyak yang menanggapi peristiwa semacam ini dengan negatif dan mempermalukan traveller yang melakukannya. Perilaku ini lah yang disebut travel shaming.

Makna sebenarnya dari travel shaming adalah mempermalukan orang yang memilih untuk tidak travelling, karena dianggap “mainnya kurang jauh”. Namun, di masa pandemi ini perilaku travel shaming mewabah dan berganti makna menjadi mempermalukan mereka yang memilih untuk travelling. Sebagai contoh kasus, beberapa travel blogger luar negeri mendapat komentar negatif mengenai pejalanan yang mereka lakukan. Komentar negatif ini dapat berupa anggapan perilaku mereka tidak bijak, merugikan banyak orang, perilaku gila, dan sebagainya.

Menurut Psikolog June Tangney, travel shaming ini disebabkan oleh pandemi yang membuat orang menjadi lebih defensif, marah, dan menyalahkan orang lain. Adalah hal yang wajar menjadi marah, kesal dan ingin mereka menyesali perbuatannya. Namun, mempermalukan mereka demi membuat mereka menyesali perbuatannya juga tidak dibenarkan. Travel shaming juga mungkin terjadi karena ketakutan, tekanan, dan ketidakinginan virus semakin menyebar.

Perilaku travel shaming ini dapat mengakibatkan stress dan tekanan pada orang yang menerimanya. Tentunya ini berkebalikan dari apa yang kita butuhkan di masa pandemi, terkhusus orang yang melakukan travelling tersebut. Orang melakukan travelling karena berbagai alasan seperti pekerjaan, kebutuhan untuk recharge energi, tugas, jalan-jalan, dan alasan lainnya.

Pemerintah dan berbagai pemilik usaha pariwisata sudah melakukan berbagai penyesuain terkait dengan protocol kesehatan. Beberapa tempat melakukan pembatasan minimum orang yang diizinkan menginap, beberapa lainnya meminta pengunjung yang datang untuk melakukan tes baik itu Tes Rapid, Tes SWAB, maupun Tes PCR. Penyesuaian ini dilakukan untuk meminimalisir kasus penularan Covid-19 dan di sisi lain memastikan bahwa usaha tetap berjalan.

Lalu apa yang harus dilakukan?

Penulis memiliki dua saran baik dari sisi traveller maupun non traveller.

  1. Untuk para traveller

Jika kamu telah berpergian dan mendapat komentar travel shaming di laman media sosialmu, maka kamu harus melakukan:

  • Jangan membalasnya dengan sanggahan atau pembelaan, jika perlu jangan dibalas sama sekali. Jangan menceburkan diri ke dalam argumen dengan orang yang sudah jelas tidak akan mau mendengarkanmu. Banyak orang takut dengan wacana berpergian pada saat pandemi, dan dengan kamu menjelaskan upaya menjaga diri yang kamu lakukan itu tidak akan mengubah pikiran mereka.
  • Hapus komentar itu jika memang sangat mengganggumu.
  1. Untuk non traveller

Agar kamu tidak menjadi kaum yang melakukan travel shaming, maka cobalah ingat:

  • Kamu tidak memiliki hak untuk memutuskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh orang lain. Semua orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, begitu pula kamu. Tanggung jawabmu lah untuk memastikan bahwa kamu setidaknya tidak membuat orang merasa lebih buruk.
  • Travel shaming tidak akan merubah apapun. Kamu tidak bisa menghentikan mereka yang travelling, bukan? Tidak juga bisa menghentikan usaha pariwisata yang berjalan.
  • Dibanding melakukan travel shaming, lebih baik mengirim pesan positif dengan mengingatkan mereka yang sedang travelling untuk menjaga dan mematuhi protokol kesehatan.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button