counter free hit invisible
Lingkungan Hidup dan Budaya

Refleksi Kemerdekaan; menyokong daulat pangan di tengah perubahan iklim

Berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 9 Agustus 2021, menyebutkan beberapa skenario iklim masa depan. Diantara skenario tersebut yang menjadi keprihatinan kita bersama dalam konteks Indonesia ialah pemanasan global yang berkelanjutan, dimana diproyeksikan akan memberikan dampak pada siklus air secara global, dalam hal ini mempengaruhi  curah hujan di musim hujan secara global dan tingkat keparahan kondisi kering dan basah. Di samping itu, keperihatinan kita juga diarahkan pada frekuensi dan intensitas cuaca panas yang ekstrim, gelombang panas di perairan, curah hujan yang ekstrim, dan kekeringan yang akan dialami warga dunia.

Bertolak dari laporan tersebut, dalam beberapa bulan terakhir media massa cetak ataupun elektronik memberitakan juga bencana ekologis di beberapa negara, dan diantaranya sudah terjadi di beberapa wilayah di tanah air kita. Dari skenario yang disajikan oleh IPCC maupun realita yang kita hadapi saat ini; kita perlu belajar kondisi pahit yang kita alami ini, dan menyadari bahwa kita telah menuai dampak dari kesalahan perencanaan dan perilaku kita, sehingga perubahan iklim yang dirasakan tersebut adalah bahaya yang kita hadapi saat ini.

Karena itu, mengambil momentum renungan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ke-76, mari kita refleksikan daya sintas republik ini, serta memulai suatu tindakan nyata. Langkah awal dimulai dengan menyelidiki apa yang dapat menjadi inspirasi kita untuk melakukan tindakan perubahan.

Dari pengamatan yang dilakukan, Republik Indonesia secara fundamental memiliki sumber inspirasi kuat yang diwariskan oleh para pendiri republik ini di dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam hal ini suatu kerangka konseptual di dalam pembukaan konstitusi, yang memiliki beberapa fungsi non-legal, salah satunya adalah fungsi untuk menggugah (Voermans, Stremler, Cliteur, 2017) atau membangkitkan kesadaran pembuat kebijakan dan warga negara untuk mewujudkan tujuan kemerdekaan republik ini.

Lalu apa yang menjadi tujuan pendirian Negara Republik Indonesia, sebagaimana tercantum di dalam UUD 1945 yang tentunya berkaitan secara erat dengan daya sintas republik ini dan warga negaranya? Jawabnya ialah frasa “melindungi bangsa Indonesia dan seluruh wilayah Republik Indonesia, serta mewujudkan kesejahteraan umum”.

Frasa ini yang menjadi warisan inspirasi yang berasal para pendiri republik ini kepada kita semua. Bila diturunkan ke dalam batang tubuh UUD 1945, maka Pasal 28 H (1) dan 33 (4) UUD 1945 adalah landasan tanggung jawab negara dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mewujudkan pembangunan yang berwawasan ekologis, berkelanjutan, kesejahteraan umum, dan partisipatif yang melibatkan warga masyarakat secara luas.

Dengan demikian bertolak dari inspirasi yang bersumber dari UUD 1945, maka kita memiliki fondasi konstitusional untuk memitigasi secara kreatif dan adaptif terhadap potensi maupun realita atas bencana ekologis. Selain itu, kita juga memiliki fondasi yang adaptif untuk merespon fenomena geologis yang sewaktu-waktu dapat terjadi, sebagai realita bangsa yang hidup di wilayah yang berada di tengah cincin api.

Selanjutnya, apabila diberikan pilihan untuk memilih prioritas terhadap sektor-sektor yang memiliki keterkaitan atas penguatan daya sintas dan suatu peluang besar untuk menggunakan cara yang terbarukan atas sumber daya dan energi yang kita miliki saat ini. Maka, pilihannya akan jatuh pada sektor pangan, sebagai prioritas dan aktivitas kita di masa mendatang. Mengapa demikian? Saya terdapat tiga dalih untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Pertama, tata kelola pangan menyangkut keberlanjutan kehidupan dari masyarakat, yang terus bertumbuh seiring dengan kondisi semakin terdegradasinya ekosistem dan terbatasnya sumber daya. Melalui tata kelola pangan yang berkelanjutan, kita juga berikhtiar untuk merestorasi ekologi kita.

Kedua, mengelola pangan yang berkelanjutan, kita akan menyentuh skema cadangan pangan bagi masyarakat, lebih-lebih lagi dalam konteks Indonesia akhir-akhir ini, yakni; tantangan ataupun ancaman yang bersumber dari bencana ekologis, dan sudah tentu realita kondisi geografis kita. Maka skema cadangan pangan adalah aspek strategis bagi daya sintas kita.

Terakhir, memberikan perhatian serius pada tata kelola pangan, maka kita memiliki ruang untuk menengok kembali budaya gastronomi masyarakat kita. Dimana berakar dari cara merawat, memilih, dan mengolah bahan makanan pokok warga nusantara.

Lebih dalam lagi, bertumbuhnya populasi manusia yang pesat, degradasi ekosistem, dan tidak efektifnya pengurangan emisi karbon dioksida di udara adalah kondisi yang kita hadapi saat ini. Dampak dari ketiga kondisi tersebut ialah sejauh mana ketersediaan pangan dapat terpenuhi bagi masyarakat, pertanian masih menunjang ketersediaan pangan, dan masih terdapatnya dukungan dari ekosistem. Maka, masih terdapat sedikit ruang untuk merespon kondisi-kondisi tersebut, yakni; kembali ke dasar bagaimana kita mengolah tanah pertanian, dan bagaimana kita mengelola cadangan pangan kita.

Berkaitan dengan hal yang mendasar yaitu; terkait cara kita mengolah tanah pertanian. Maka hal tersebut dimulai melalui dari mengubah habitus kita dalam bertani, sehingga kita mengusahakan pertanian berkelanjutan. Hal ini berkaitan kondisi yang menunjukan budaya kita bertani termasuk dengan cara kita mengelola tanah turut serta menyumbang terjadinya perubahan iklim, dan terdegradasinya ekosistem (Coleman, Callaham, and Crossley Jr, 2018).

Sebagai contoh yang lazim kita jumpai, yaitu; penggunaan pupuk, pestisida, herbisida, dan fungsida kimia. Lalu contoh di tataran kebijakan, antara lain seperti food estate, dimana merupakan pertanian masif yang disertai dengan diperbolehkannya kebijakan perambahan hutan, atau deforestasi.

Contoh-contoh di atas adalah aktivitas yang lambat laun akan memberikan dampak serius bagi degradasi tanah. Padahal tanah adalah teknologi alamiah untuk dapat menyimpan dan mengangkat karbon dalam jumlah yang sangat besar dari atmosfer melalui tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di atas tanah, yang dipenuhi trilyunan mikro-organisme.

Maka, apabila terdapat pertanyaan bagaimana kita memulai memitigasi perubahan iklim? Maka jawaban pada tataran kebijakan adalah adanya kemauan dan komitmen politik yang kuat, dimulai melalui meninjau ulang kebijakan deforestasi, penggunaan pupuk, insektisida, pestisida, dan herbisida kimia. Sedangkan pada tataran mikro, komitmen warga untuk memulai pertanian pertanian yang hidup bersama dengan ekosistem bukan mengisolasinya, telah dimulai. Sudah saatnya, otoritas publik memberikan dukungan yang luas.

Dalam perkembangannya belakangan ini, pertanian yang hidup bersama ekosistem, telah menjadi habitus di kalangan masyarakat nusantara, ataupun diusahkan pada pertanian modern. Kita mengenalnya dengan banyak nama, yakni; apakah hal tersebut pertanian tumpang sari, ataupun pertanian permaculture –seperangkat alat yang diperuntukan untuk mendesain berdasarkan pengamatan pola siklus dari alam, yang dapat digunakan sebagai model untuk merancang suatu infrastruktur yang kita butuhkan untuk masa depan yang berkelanjutan– (Jan Martin Bang, 2015), yang belakangan ini perlu kita coba pahami dan coba lakukan sebagai alternatif tindakan untuk merespon krisis lingkungan.

Di samping itu dalam tataran budaya, permaculture merupakan kontra-budaya pertanian arus utama, yang mana memberikan kerangka holistik untuk mengatur kehidupan dan nilai-nilai-nilai minoritas yang kecil, di tepian, dan marjinal yang siap untuk perubahan yang mendasar. Sedangkan dalam tataran etis, permaculture memberikan kerangka etika antara lain; merawat bumi, merawat sesama, dan menetapkan batas konsumpsi dan reproduksi, serta pendistribusian kembali surplus (Holmgren, 2002).

Barangkali dalam rangka menuju Indonesia Emas 2045 dimana terdapat komponen ketahanan pangan, kesejahteraan petani, dan  komitmen terhadap lingkungan hidup. Perlu dimulai dengan mengarusutamakan kebijakan pertanian model permaculture atau pertanian hidup selaras dengan alam, dimana desain pertanian dirancang secara sadar dan terpola pada relasi dengan alam yang mana bertujuan memenuhi kebutuhan pangan pokok masyarakat, dan sebagai respon alternatif terhadap krisis lingkungan. Daripada mengusahakan model pertanian masif, yang mengisolasi pertanian dari ekosistem, dan terlalu berat berorientasi dengan industri.

Saya mengamati dan berinteraksi dengan beberapa warga masyarakat yang sudah mengusahakan suatu pertanian yang selaras dengan alam, ataupun berdasarkan permaculture. Alhasil dari observasi dan interaksi tersebut ada beberapa hal yang saya temukan; pertama, mendorong aktivitas tersebut mendorong kesehatan mental dan kekuatan spiritual. Kedua, mengedepakan habitus merawat, mendaur ulang, dan menyimpan sumber daya dan energi –hal ini nantinya berkaitan dengan tata kelola cadangan pangan–.

Ketiga, terfokus pada energi yang terbarukan. Keempat, pola aktivitas cenderung berupa aktivitas mikro dengan dampak nyata bagi lingkungan. Terakhir, membangun budaya dan pendidikan bagi sekitarnya. Pengalaman lainnya yang saya temukan, ketika pertanian warga berselaras dengan ekosistem hutan, maka warga tidak saja mengusahakan pertanian yang berkelanjutan, tetapi juga sekaligus mengembalikan hutan sebagai sumber peradaban.

Lebih dalam lagi, terkait dengan cadangan pangan. Secara fundamental cadangan pangan erat berkorelasi dengan kemandirian pangan dan budaya keberlanjutan. Penyimpanan pangan di sisi budaya, telah melekat dalam memori kolektif masyarakat Indonesia, dimana lumbung pangan atau padi terdapat di dalam masyarakat pedesaan ataupun adat. Salah satu contoh untuk menggambarkan budaya penyimpanan pangan yakni; pada masyarakat Kanekes (badui), dimana penyimpanan pangan bertumpu pada lumbung pangan (leuit). Dimana praktik penyimpanan tersebut merefleksikan adanya swasembada pangan, gotong royong, tata kelola logistik, dan budaya keberlanjutan (Maryoto, 2009).

Dengan demikian, Inti dari budaya penyimpanan yang perlu digarisbawahi adalah soal kemandirian pangan, dalam arti lain terdapat upaya pengurangan secara gradual ataupun tidak memiliki ketergantungan pada pangan impor. Karena mensyaratkan kemandirian maka merawat bibit-bibit lokal serta ekosistem sebagaimana dilakukan masyarakat Kanekes secara turun menurun, adalah misi kita bersama, terlebih lagi pembuat kebijakan sektor pangan. Sebaliknya, bukan sebanyak-banyaknya menyerap dan menyimpan pangan, namun abai terhadap daulat pangan.

Sebagai penutup, terkait dengan budaya gastronomi masyarakat nusantara, yang mana merupakan refleksi dari rasa syukur kita atas berkah makanan yang melimpah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Terdapat tiga komponen yang melandasi budaya gastronomi tersebut; bahan pangan lokal, kesegaran pangan, dan diversifikasi pangan.

Ketiga komponen ini mengalir pada satu titik; peningkatan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat. Bahan penggunaan makanan lokal mengandaikan bahwa pangan dihasilkan berdasarkan pengetahuan setempat, serta berasal dari kebun atau lahan pertanian sendiri sehingga berkorelasi juga dengan kesegaran dan keamanan pangan yang dipilih dan diolah. Pengandaian lainnya, bahwa penggunaan bahan makanan setempat berkorelasi kuat pada diversifikasi pangan. Bahwa makanan pokok seperti beras selalu didampingi oleh sumber-sumber lain seperti; jagung, sagu, umbi-umbian, dan kacang-kacangan.

Melalui pengandaian-pengandaian tersebut, maka memang diperlukan adanya kesinambungan sainstifikasi atas pangan yang dihasilkan berelasi dengan praktik gastronomi di Indonesia agar diketahui kandungan nilai nutrisinyanya (Rahman, 2016). Namun lebih jauh lagi, dalam cakupan ketahanan dan daulat pangan maka kultur gastronomi mengarahkan penggunaan bahan makanan pokok dan diversitifikasi pangan menjadi prioritas di masa mendatang. Hal ini bertujuan, pertama, memanfaatkan pertanian tanpa mengubah struktur ekologi; kedua, pangan yang dikembangkan selaras dengan kondisi geografis; ketiga, keanekaragaman pangan dapat tercapai, tanpa adanya perambahan wilayah pertanian untuk padi semata; terakhir, membangun wilayah pertanian dari tepi, bukan lagi tersentralisasi.

Nicky Fahrizal

Peneliti Dept. Politik dan Perubahan Sosial CSIS Jakarta

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button