Anak-anak Merespon Kedukaan
Peristiwa kedukaan jarang sekali mudah diterima sebagaimana peristiwa kelahiran disambut dengan tangan terbuka
Kembalikeakar.com – Hampir satu tahun sejak pandemi Covid-19 diumumkan pertama kali di Indonesia. Empat puluh dua ribu lebih pasien yang meninggal (data 12 Februari 2021) bukan sekadar angka. Di antara mereka pasti ada orang tua yang memiliki anak-anak, dan diperkirakan, ada ribuan anak yang menjadi yatim piatu.
Peristiwa kedukaan jarang sekali mudah diterima sebagaimana peristiwa kelahiran disambut dengan tangan terbuka. Dalam kedukaan, orang melipat kedua tangan, menyimpan dan menahan kesedihan, kalau tak bisa meluapkannya dengan terang-terangan. Rasa kehilangan bisa saja berbungkus kemarahan dan penolakan. Ada yang melewatinya dalam beberapa bulan, ada yang butuh tahunan sampai nalar dan hatinya bisa menerima. Orang dewasa bisa demikian. Bagaimana dengan anak-anak?
Reaksi dan cara anak-anak merespon kedukaan bisa bermacam-macam. Ada yang merasa takut, menyalahkan diri, sedih, panik, meledak-ledak, merasa kosong, ataupun mengalami perubahan fisiologis misalnya kembali mengompol padahal sebelumnya sudah tidak mengompol. Semua reaksi ini merupakan reaksi yang normal. Bermacam-macamnya reaksi tergantung pada tingkat pemahaman anak terhadap konsep kematian. Mari kita telisik menurut tahap perkembangan berpikirnya.
Daftar Isi
Usia di bawah 2 tahun.
Anak yang berusia di bawah 2 tahun pada umumnya belum mengenal konsep kematian, tetapi mereka bisa merasakan emosi di sekitarnya melalui fungsi sensori tubuhnya. Mereka mengenal rasa sedih dan duka dari getaran emosi orang-orang dewasa yang ada di dekatnya. Biasanya mereka juga merindukan anggota keluarga yang meninggal. Cara terbaik untuk membuat anak merasa aman pada masa berduka adalah dengan tetap mempertahankan rutinitas dan aktivitasnya sehari-hari.
Usia 2-6 tahun.
Pada anak-anak yang berusia 2 hingga 3 tahun, mereka menganggap kematian bersifat sementara. Oleh karenanya, bila kita menggunakan ungkapan “sedang tidur” untuk menjelaskan kondisi orang yang meninggal, hal ini bisa membingungkan, karena yang anak pahami adalah setelah tidur orang akan bangun. Anak-anak ini biasanya bertanya berulang-ulang: di mana eyang; kapan ibu bangun; mengapa ayah meninggal; mati itu apa. Bahkan pada anak-anak yang lebih besar (4-6 tahun), mereka mungkin saja menganggap dirinya telah melakukan sesuatu yang menyebabkan kematian orang-orang yang disayanginya.
Bantuan yang bisa kita berikan adalah menjawab setiap pertanyaan mereka dengan tenang dan konsisten. Penting untuk menyatakan dengan jujur, jelas, transparan, tanpa menyertakan kiasan. Kita dapat katakan, “tubuh eyang sudah berhenti bernafas”, “ibu tidak ada di dunia ini lagi, tidak hidup seperti kita”, “ayah sudah tidak bisa melihat dan berbicara kepada kita, tetapi kita bisa bercerita padanya melalui doa”. Anak-anak pada usia ini butuh mendengar informasi lagi dan lagi selama mereka memprosesnya dalam pikiran.
Usia 6-10 tahun.
Anak-anak usia ini cenderung penuh rasa ingin tahu mengenai kematian dan hal-hal yang berhubungan dengannya, seperti tengkorak, hantu, kuburan, dsb. Mereka berpikir secara konkret dan mengajukan banyak pertanyaan, terutama tentang penyebab kematian. Biarkan mereka bertanya karena informasi akan sangat membantu mereka. Kita bisa menjelaskan dampak yang dialami organ tubuh karena penyakit yang diderita. Terpenuhinya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan konkret ini akan membantu mereka menuju proses berpikir abstrak.
Usia 10 tahun ke atas.
Pada usia menjelang remaja, anak-anak mulai menangkap konsep kematian sebagaimana dipahami orang dewasa. Pemahaman orang dewasa yang dimaksud ini adalah bahwa kematian bersifat permanen, kematian terjadi karena semua fungsi tubuh berhenti, dan semua makhluk hidup akan mati termasuk diri sendiri. Mereka cenderung bisa mengerti keadaan dan menahan diri untuk tidak banyak bertanya agar tidak menyusahkan orang dewasa.
Ada kalanya mereka bersikap seolah-olah tidak sedang berduka, tetap tampil ceria agar bisa diterima dalam pertemanan. Atau sebaliknya, mereka bingung tentang sikap apa yang pantas ditampilkan. Bantuan yang bisa kita berikan adalah bersikap terbuka dan menyediakan waktu untuk berbicara dengannya. Biarkan remaja bercerita dengan teman dekatnya, karena remaja membutuhkan lebih banyak ruang untuk mengekspresikan perasaaan dan itu bisa menghiburnya.
Tidak ada cara terbaik menghadapi kedukaan
Penting dipahami bahwa tidak ada cara terbaik bagi anak untuk menjalani masa berkabungnya. Beberapa anak mungkin sangat ekspresif, beberapa yang lain cenderung diam. Perilaku anak mungkin berubah, namun hal itu masih wajar karena merupakan bagian dari reaksi adaptif anak, bahwa ia sedang menyesuaikan diri dengan perubahan yang dialami.
Dalam proses berkabung, pesan-pesan yang perlu anak pahami di antaranya:
- Kematian merupakan bagian dari siklus kehidupan
- Keyakinan spiritual yang dipegang oleh keluarga mengenai kondisi setelah kematian
- Tidak apa-apa menangis dan merasa sedih
- Tidak apa-apa merasa marah dan sakit hati
- Tidak apa-apa jika belum ingin berbicara
Tentunya tidak apa-apa juga bila anak menyaksikan orang tuanya bersedih dan berduka terhadap kematian anggota keluarga yang dikasihi. Di sini anak-anak bisa melihat dan belajar tentang bagaimana ayah ibunya menyikapi situasi sulit.
Perubahan emosi yang dialami karena peristiwa kematian bisa berbeda-beda pada tiap orang, baik dewasa maupun anak-anak. Apabila situasi semakin mengkhawatirkan, bahwa sulit bagi orang tua untuk mengendalikan emosinya, sulit bagi keluarga untuk menjalani rutinitas harian seperti biasa, atau reaksi berduka yang dialami anak berlangsung dalam waktu lama atau berkepanjangan, ada baiknya keluarga meminta bantuan profesional seperti konselor dan psikolog untuk memberikan dukungan dan penanganan yang lebih sesuai.
Referensi:
Understanding Grief and Loss in Children. Resilience in the Face of Grief and Loss: A Curriculum for Pediatric Learners. https://www.aap.org/en-us/Documents/Understanding%20Grief%20and%20Loss%20in%20Children%20Discussion%20Guide.pdf
UNICEF. 2020. How parents can support their child through COVID-19 losses. https://www.unicef.org/coronavirus/how-parents-can-support-their-child-through-covid-19-losses
Rachel Dissel. 2020. Helping kids deal with grief during the pandemic. https://www.usatoday.com/story/community-hub/funeral-planning/2020/07/15/child-grief-during-pandemic/3194707001/