counter free hit invisible
Mengenal Diri

Anak School from Home, kok, Orang Tua Stres?

School from home, sekolah di rumah, atau pembelajaran jarak jauh, adalah situasi yang anak-anak dan orang tua hadapi selama pandemi ini. Situasi baru yang butuh banyak adaptasi dan tentu menimbulkan stres. Kita mengalami stres ketika berada pada situasi yang mengancam atau tidak menyenangkan, yang membuat kesadaran kita waspada (alert), bersiap untuk menyerang atau menghindar dari hal-hal yang menimbulkan stres itu.

Pada konteks belajar jarak jauh ini, mungkin situasi yang tidak menyenangkan bagi orang tua tidak hanya tambahan peran menjadi guru yang meneruskan tugas dan membimbing anak (termasuk juggling, misalnya dari guru SD kelas 5, beralih menjadi guru SD kelas 2, kemudian guru TK), tetapi juga melaporkan tugas anak setiap hari, entah dipotret, direkam, lalu dikirim. Orang tua menjadi stres menghadapi situasi baru ini? Itu wajar, sangat wajar. Anda, para orang tua, tidak sendiri.

Stres yang mau saya angkat dalam tulisan ini, bukan stres yang tadi kita sudah sama-sama pahami bahwa itu kondisi wajar. Akan tetapi, bukan pula artinya saya mau membahas stres yang tak wajar. Sebenarnya ini soal pemicu stres yang sebagian orang tua mungkin mengalaminya. Dan ketika menyelami latar belakang para orang tua ini, apa yang menjadi kebutuhan dan dorongan mereka, pada akhirnya kita bisa mengerti alasan tindakan mereka. Namun demikian, mungkin sudah ada konsekuensi yang dialami anak-anak mereka. Sayang sekali.

Nah, stres apakah yang dimaksud? Stres orang tua yang memandang prestasi anak sebagai prestasi mereka. Apa yang salah? Bukankah orang tua boleh bangga bila anaknya berprestasi? Ya, tentu boleh, dong. Namun kalau orang tua yang mengejar prestasi ketimbang anaknya sendiri, bagaimana?  Orang tua yang menggunting pola dengan rapih, mencegah anak mengambil krayon merah untuk menggambar awan, memperbaiki hitungan pecahan yang masih salah, melakukan finishing proyek anak, supaya hasil yang dikirim kepada guru sudah benar dan terbaik. Biasanya, orang tua yang mengalami ini, lebih sibuk dan panik ketika anaknya mendapat tugas. Apalagi kalau anaknya memang belum bisa memenuhi standar yang diharapkan, bisa-bisa orang tua tambah stres dan tambah menuntut.

Ingatlah bahwa yang bersekolah adalah anak, bukan orang tua. Yang diharapkan bisa mengembangkan kemampuan berpikir dan keterampilannya, adalah anak, bukan? Mengapa jatah belajar anak diambil alih?

Saya mengutip pesan dari Dr. Indun L. Setyono, seorang psikolog, praktisi pendidikan, dan ketua Asosiasi Psikolog Sekolah Indonesia, bahwa seorang anak memiliki otak, emosi, motivasi, dan fungsi psikologis lainnya. Anak memiliki dorongan energi yang harus dikembangkan. Apabila segala proses belajar ditetapkan orangtua -demi prestasi orang tua-, anak tidak paham hal-hal yang harus dikembangkan, dan tidak paham cara mengembangkannya. Hal-hal yang harus diperbaiki sudah ditentukan orang tua, sehingga anak tidak belajar melihat sendiri apa yang perlu ia perbaiki. Berpikir menjadi pasif, emosi tidak diregulasi dengan benar, dan tidak terjadi kepuasan pribadi yang akan memotivasi anak dalam belajar. Kalau sudah begini, orang tua mengalami stres berikutnya, ketika anak tidak punya minat belajar.

Barangkali pernah berkembang suatu pandangan bahwa orang tua tidak boleh membiarkan satu kesulitan pun terjadi pada anaknya. Anak harus selalu juara, kumpulkan piala sebanyak-banyaknya. Anak harus diberi kenyamanan, bahkan jika ke Dufan, Trans Studio, atau tempat rekreasi lainnya ia harus mendapat tiket terusan agar tidak perlu mengantri.  Ia harus merasa bahwa setiap orang menyukainya. Kalau saja ada anak tetangga tidak mau bermain dengannya, maka panggil tetangga tersebut, tanyakan alasan dan minta anak tetangga untuk berbaikan. Ketika terjadi masalah di sekolah, telepon gurunya, kalau perlu minta guru meminta maaf atas masalah yang dialami anak. Dalam pandangan ini, anak itu rapuh, tidak boleh jatuh.

Betapa cemas dan penuh rasa bersalah menjadi orang tua yang demikian. Tentu menjadi orang tua mestilah membahagiakan.

Rangkul segala persoalan dan kesulitan, agar anak tahu caranya menjadi pribadi kuat. Berikan porsi anak mengalami gagal, duduk berdiam memikirkan cara yang baru, lalu mencoba lagi. Biarkan anak berkreasi mengembangkan nalarnya. Biarkan anak mengalami rasanya terluka ketika tidak disukai teman, agar kelak ia memiliki empati kepada mereka yang terluka. Bagaimanapun, kenyataan yang perlu kita pahami hingga saat menjadi dewasa adalah bahwa kita tidak harus disukai setiap orang. Berikan kesempatan anak belajar dari kesalahannya dan menghadapi konsekuensi yang mungkin tidak enak. Biarkan anak belajar arti kemenangan dengan kerendahan hati.

Membiarkan anak menggunakan jatah belajarnya ini tidak serta merta membuat orang tua bebas dari stres. Pasti ada situasi-situasi tak terduga yang membuat kewaspadaan Anda kembali menyala. Namun kali ini Anda sebagai orang tua yang mendampingi, membimbing, dan menjadi tempat anak bertanya, bukan yang berlomba meraih prestasi. Pada momen-momen anak berhasil, entah hasilnya baik atau buruk, Anda akan menyaksikan bahwa pribadinya bertumbuh, dari binar matanya, getar suaranya, dekap peluknya, atau kepastian senyumnya.

Referensi :
Doyle, Glennon. 2020. The memo that all new moms and dads should receive.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button