Generasi Penerus Imajinasi Indonesia
Kembalikeakar.com – Generasi Penerus Imajinasi Indonesia. Bonus demografi salah satu isu futuristik yang ramai dibicarakan dihadapi dengan rasa pesimistis dan optimistis. Macam-macam narasinya. Arahnya bagaimana kondisi bonus demografi-tiap 44 orang menghidupi 100 orang-itu dimanfaatkan atau dibiarkan lewat begitu saja.
Di Indonesia dari sisi perilaku psikologi sosial politik, bonus demografi umumnya dihadapi dengan rasa pesimistis. Ada kekhawatiran, generasi muda (millenial) yang saat ini menduduki jenjang pendidikan menengah, atau mereka yang lahir tahun 80-an, yang harus kreatif inovatif dan menyukai segala sesuatu yang instan, siap menghadapi zaman.
Rasa pesimistis itu baik dan kritis, karena didasari realitas ketertinggalan dalam pengembangan SDM. Pesimisme menjadi pemicu untuk berusaha menghadapinya sebagai tantangan. Isu lainnya menyangkut pembabakan generasi dengan ciri khas setiap generasi.
Dua isi itu pula yang menjadi dasar buku ini. Dengan berlatar fakta sejarah generasi Indonesia, antara lain kemudian dalam bentuk pembabakan generasi dalam ilmu sejarah, penulis menawarkan optimisme bagi masa depan generasi milenial-sebutan yang dia ubah dengan nama Generasi Phi- gnerasi yang lahir antara 1988 dan 2004-an.
Muhammad Faisal melakukan pembabakan generasi dengan kriteria sendiri, didasarkan atas amatan psikologi sosial. Generasi Phi memiliki karakteristik serba optimistis, punya kepekaan sosial tinggi, suka berbicara tentang idealisme, gemar membaca buku, menghidupkan budaya, menghayati agama, mengisi ruang publik, dan membangun narasi kebangsaan.
Generasi kembali ke akar
Penulis menggambarkan Generasi Phi sebagai fotokopi generasi muda-dewasa menjelang kemerdekaan atau Generasi Alpha, lahir 1900-1930-an, yang selama ini ditabalkan sebagai generasi ideal dalam sejarah generasi Indonesia.
Karena itu Muhammad Faisal-setelah melakukan riset selama tiga tahun di 13 kota besar di Indonesia dan mempertemukannya dengan sejarah generasi muda Indonesia-memberi judul buku-nya Generasi Kembali ke Akar.
Meskipun disiplin ilmunya adalah psikologi sosial politik, ia merasa sebagai sejarawan sekaligus futuris-amatir
Buku terbagi atas lima bagian. Bagian pertama saripati buku, berisi pendasaran pembabakan generasi Indonesia dengan pembatasan arketipis. Pembabakan generasi ini didasarkan teori arketipe (archetype)-konsep psikologi mengenai ketidaksadaran manusia yang awalnya diperkenalkan oleh CG Jung tahun 1919. Jung mengembangkan konsep bawah sadar Sigmund Freud. Arketipe bersifat tersembunyi sehingga hanya termanistasi dalam perilaku nyata kegika bertransformasi melalui budaya. Generasi Phi, generasi muda saat ini, disimpulkan memiliki karakteristik kembali ke akar kelebihan-kelebihan generasi kembali ke akar
Bagian dua dan tiga tentang panorama umum persoalan psikologi sosial politik budaya yang dihidupo generasi demi generasi; uraian yang tampaknya simplikasi dari ratusan telaah tentang generasi Indonesia dari berbagai disiplin ilmu, tetapi penulis keluar dari pembabakan yang lazim. Dalam bagian empat penulis mengungkapkan optimisme generasi ini sebagai inkarnasi generasi Sumpah Pemuda yang optimis dan bahagia.
Bagian lima berisi tentang futurisme generasi sekaligus mengkritik penyebutan generasi milenial atau generasi anak jaman now sebagai penyempitan sebab mereka tidak lahir dari lapisan akar rumput pemuda (hal 250). Generasi ini mampu mengimajinasikan Indonesia dalam “cetak biru” yang jauh lebih maju, sejahtera dan bahagia.
Secara umum dalam bagian dua hingga lima membicarakan wajah generasi-generasi pengubah Indonesia. Setelah bertahun-tahun Generasi Alpha hingga Generasi Theta mengalami stagnasi seiring dengan lambatnya perubahan zaman. sebaliknya pada era Generasi Phi terjadi berbagai entakan perubahan zaman.
Tentang zaman generasi Phi tidak terlalu detail dibahas. Penulis membahas lebih mendalam di buku Generasi Phi: Generasi Milenial Pengubah Indonesia (2019). Uraian empat bagian buku ini menyajikan potret-potred berbagai kejadian di dunia yang megnubah dan mengembangkan psikologi sosial setiap generasi.
Babakan yang terlewat
Penulis kurang memperhatikan berbagai peristiwa signifikan yang menjadi penyebab munculnya kekhasan setiap generasi. Padahal peristiwa-peristiwa itu dalam pendekatan lazim, historis, sebagai kesatuan dulu-kini-nanti, kait-mengait berpilin. Penamaan secara kreatif atas nama-nama generasi sah-sah saja, apalagi dikerangka dalam satu teori psikologi Jung. Buku enak dibaca, tidak direcoki berbagai teori psikologi sosial politik sebelum Freud maupun Jung, apalagi dengan pendasaran sejarah.
Namun, setiap teori dalam epistemologi selalu diikuti kritik yang mengembangkan atau menolak teori sebelumnya. Dalam sejarah pemikiran filsafat, hal biasa terjadi perdebatan, saling kritik, yang memunculkan teori baru dan mengembangkan studi sejarah filsafat dan sejarah pemikiran. Pengarang jeli membatasi dan sengaja tidak masuk ke sana, hanya menyampaikan pemotretan arketipe. Analissnya tidak berbelit-belit, uraiannya mudah di cerna, tapi bisa terjerumus dalam simplikasi persoalan.
Simplikasi dapat diterima ketika sebuah karya tulis, hasil spekulasi atas pengamatan faktual historis itu, tidak memasuki ramah epistemologi. Dasar pertanggung jawaban ilmiah penulis dalam melakukan analisis dan penarikan konklusi adalah teori arketipe Freud dan Jung.
Hal lain yang patut dicatan dari buku ini tampaknya penulis melewatkan beberapa peristiwa besar dan signifikan yang mengubah perilaku generasi. Dibandingkan uraian peristiwa-peristiwa besar sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan 1945, yang dipandang berpengaruh mengubah perilaku suatu generasi, tidak dibahas komprehensif. Peristiwa-peristiwa sejarah dan besar pengaruhnya terhadap perilaku gnerasi antara lain peristiwa Malari 1974 dan peristiwa 30 September 1965, terutama kejadian pembunuhan demi pembunuhan pasca-G30S.
Kalau “kedua peristiwa itu dianalisis lengkap seperti peristiwa 1945 dan sesudahnya, bisa saja mengubah atau memengaruhi analisis penulis buku. Berdasarkan teori Arketipe yang dipakai, apakah kedua peristiwa itu tidak berpengaruh pada argumen dan uraian tentang Generasi Phi? Setidaknya dengan memasukkan beberapa kejadian besar dalam sejarah Indonesia secara lebih lengkap-sama seperti Generasi Alpha-diandaikan buku ini memberi catatan-catatan spekulatif lebih lengkap bagi Generasi Phi sebagai generasi yang sejajar generasi sebelum kemerdekaan Indonesia.
ST Sularto
Wartawan Senior
One Comment