counter free hit invisible
Mengenal Diri

Perluas definisi kegembiraan, persempit definisi penderitaan

Kembalikeakar.com –  Penderitaan manusia bisa dianalogikan dengan perilaku gas. Jika sejumlah gas dipompakan ke dalam sebuah ruangan kosong yang tertutup, gas tersebut akan mengisi seluruh ruangan secara merata, seberapa pun besarnya ruangan tersebut. Begitu pula dengan penderitaan; dia akan mengisi jiwa dan pikiran sadar manusia, tanpa peduli besar atau kecilnya penderitaan itu. Karena itu, ‘ukuran’ penderitaan manusia bersifat amat relatif.” Kalimat ini saya kutip dari buku Viktor E. Frankl berjudul Man’s Search for Meaning.

Ukuran penderitaan manusia sangat relatif. Berbeda-beda pada tiap individu. Coba kita kaitkan dengan kondisi yang relevan saat ini: Pandemi Covid-19. Kondisi pertama, work from home selama satu bulan, rasanya sudah menderita. Pekerjaan bertambah, tidak bisa nongkrong dengan teman sepulang kerja, belum lagi harus memeriksa dan mengirimkan tugas-tugas anak school from home.

Kondisi kedua, THR ditiadakan, ditambah pengurangan upah 50%, benar-benar menambah derita. Kondisi ketiga, lebih dari 1,5 juta pekerja di Indonesia terpaksa dirumahkan atau di-PHK (katadata.co.id), membuat orang-orang yang mengalami ini, mungkin kalau bisa, ingin berteriak pada yang mengeluh di kondisi pertama dan kedua, bahwa masih bisa bekerja itu jauh lebih beruntung. Mungkin, ya. Sekali lagi, ini kemungkinan. Mengapa mungkin? Karena, menderita tidaknya itu tergantung ukuran penderitaan yang mereka tetapkan.

Mungkin ada sebagian kita, yang ketika kehabisan hand sanitizer di swalayan dan apotik, bertambah cemas karena tidak bisa membersihkan tangannya. Atau juga merasa menderita ketika aliran air dari perusahaan air minum (PAM) harus terhenti beberapa hari akibat perbaikan.

Ada banyak hal bisa kita masukkan dalam daftar “hal-hal yang membuatku menderita”.

Bagaimana dengan sebaliknya, hal-hal apa yang bisa membuatku gembira? Lebih banyak atau lebih sedikit dari daftar penderitaan?

Mungkin ada sebagian kita, gembira jika bisa liburan ke luar negeri, gembira kalau menonton penayangan perdana film (premiere) lebih dulu daripada para followers-nya di media sosial, gembira makan sushi salmon karena lidahnya hanya bisa menerima rasa ikan salmon dibandingkan jenis ikan lainnya. Berlebihan? Ya, mungkin, tapi ini mungkin juga terjadi.

Kita tidak sedang membandingkan selera dan kebutuhan orang. Saya baru menyajikan contoh-contoh, betapa rentang daftar penderitaan dan kegembiraan bisa ditarik sedemikian lebar.

Sebagaimana ukuran penderitaan amat relatif, begitu pula dengan kegembiraan. Dari buku Frankl juga, saya mengutip pernyataan Schopenhauer, seorang filsuf, bahwa kemerdekaan dari penderitaan bisa bermakna kegembiraan. Terhindar dari hukuman, kerugian, musibah, penyakit, bisa membawa kegembiraan.

“Oke, saya tidak mendapat THR, tetapi saya masih bisa mendapat upah,” pandangan ini salah satu ungkapan kegembiraan. Atau, saya di-PHK, tetapi saya masih memiliki tabungan untuk menafkahi keluarga dan tidak memiliki hutang. Meskipun repot menghadapi “wfh” dan “sfh”, namun kesehatan saya prima. Kita bisa kaitkan ini dengan rasa syukur (gratitude), optimisme, berpikir positif, positive emotions, tawakal, makna (meaning), dsb. Frankl menulis, “apapun bisa dirampas dari manusia, kecuali satu: kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan.”

Disadari atau tidak, selama menjalani karantina di rumah, mungkin ukuran kegembiraan kita pun sudah bergeser. “Bisa keluar rumah dan pergi ke ****mart aja, udah senang banget, serasa ke Disneyland!” “Ikannya bukan salmon, sih, tetapi ikan kembung dari tukang sayur keliling ini, enak juga.” “Nggak perlu liburan ke puncak, tiap pagi juga bisa mendengar kicau burung yang mendamaikan.”

Dari hari-hari pertama karantina Maret lalu, di hadapan makanan yang akan disantap, sering muncul rasa syukur semacam itu dalam hati saya: masih bisa menikmati makanan hari ini. Pada 2017 lalu, saya pernah membuat catatan berikut.

A: “Mengapa ada orang yang kurang bahagia?

B: “Mereka mengenakan ukuran yang melebihi kebahagiaan itu sendiri.”

Mendefinisi ulang

Dengan segala kondisi normal dan tidaknya menurut ukuran kita masing-masing pada minggu-minggu atau bulan-bulan ini, kita bisa mendefinisi ulang daftar kebahagiaan dan penderitaan. Bukan untuk membandingkan dengan orang lain, karena bagaimanapun kebutuhan kita berbeda satu sama lain. Akan tetapi, kita bisa membuat perbandingan ke dalam diri. Apakah benar aku baru gembira kalau mendapat X, berada di Y, dengan Z? Ataukah, aku sudah bisa gembira dengan A dan saat B?

Mudah-mudahan daftar kegembiraan kita bisa diperluas, dan daftar penderitaan bisa dipersempit. Apa tujuannya? Membuat kita yang sedang berada di situasi sulit atau negatif, bisa beranjak dulu ke kondisi netral. Dari kondisi netral dan ditambah kegembiraan, barulah kita siap melangkah ke depan.

Dalam tulisan ini, saya arahkan empati saya kepada kawan-kawan yang harus dirumahkan atau di-PHK. Situasi ini tidak mudah. Kalimat motivasi bahwa PHK adalah peluang untuk wirausaha dan memulai pekerjaan baru, memang menggugah di telinga dan mata. Namun untuk mulai melangkah, hati yang bisa bergembira pada situasi ini adalah energinya.

Barangkali yang kita hadapi bukan sprint, tetapi marathon, yang membutuhkan pengelolaan energi jangka panjang.

Editor:
Muhammad Faisal

Referensi:

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button