Relasi Generasi Muda Dengan Orangtua Saat Pandemi
kembalikeakar.com – Tak terasa hampir satu tahun sudah kita melewati tantangan pandemi Covid-19. Momen epik dimana ditengah pesatnya perkembangan teknologi transportasi dan kemudahaan mobilisasi kita malah dipaksa untuk tetap berdiam diri dirumah sendiri. Lebaran yang erat kaitannya dengan mudik untuk bertemu melepas rindu dengan sanak saudara pun terpaksa hanya dapat disalurkan melalui batasan kaca sebesar genggaman tangan (handphone) atau kaca sebesar kertas portofolio (laptop).
Teknologi canggih seperti zoom, whatsapp video call, dan lainnya menjadi solusi yang sejatinya tidak sememuaskan bercengkrama langsung secara fisik. Di momen ini generasi muda dan orangtua diajarkan bahwa kehadiran serta sentuhan fisik emosional tak dapat dikalahkan oleh teknologi secanggih apapun. Beruntunglah generasi muda dan para orangtua yang dapat menjalani gerakan #dirumahaja dengan bersama-sama.
Merasakan kuantitas waktu bersama yang mayoritas sulit kita dapatkan, bahkan terkadang kita harus mengambil cuti untuk waktu keluarga. Namun sayangnya, berbicara mengenai menghabiskan waktu keluarga tak hanya berbicara tentang jumlah waktu yang tersedia atau kuantitasnya saja, melainkan kualitas waktu yang dihabiskan pun sangat penting dipertimbangkan.
Pandemi korona menyebabkan perubahan perilaku digital. Berdasarkan survei pengguna internet berusia 16-64 tahun yang dilakukan di 17 negara pada bulan Maret hingga April 2020, terdapat peningkatan yang signifikan dalam penggunaan media digital oleh masyarakat, terutama televisi, laptop, dan aktivitas media sosial. Indonesia menempati urutan ketiga dalam penggunaan media sosial di Asia Pasifik
Coronavirus Research | April 2020 – Series 4 : Media Consumption and Sport
Peningkatan penggunaan media digital berarti peningkatan screen time. Hal ini dapat membuat semua yang dirumah malah asik sendiri. Sehingga banyak orangtua merasakan tekanan untuk mengambil keputusan akan pemberian teknologi pada anak mereka, mereka takut anaknya kecanduan gadget, mengalami cyberbullying dan terpapar hal negatif lainnya. Sisi lain bila mereka tidak memberikan teknologi pada anak-anak mereka akan ketinggalan zaman. Namun demikian Academy of Pediatrics mengatakan ‘screen time’ ya hanya persoalan ‘time’ saja. Oleh karenanya, sampai batas tertentu dapat menjadi hal yang baik untuk dilakukan dan pengawasan orangtua sangat berperan penting didalamnya.
Sejatinya persoalan screen time ini memang tak bisa dianggap remeh. Screen time yang berlebih apalagi pada saat pandemi seperti ini terbukti dapat meningkatkan obesitas, sakit mata, disrupsi pola tidur, depresi bahkan bunuh diri. Mereka yang kecanduan gadget akan mengalami penurunan kualitas belajar dan bekerja. Penggunaan gadget memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan perilaku. Dan ini mulai terjadi didekat kita, di RSJ Cisarua saja baru-baru ini mengaku kebanjiran 209 pasien anak kecanduan gadget. (https://proceeding.unnes.ac.id/index.php/snpasca/article/download/272/235)
Fenomena tersebut bahkan memaksa big company seperti xiaomi meluncurkan fitur digital well being sebagai upaya membantu mengawasi screen time berlebih. Namun penggunaan gadget berlebih ini tak serta merta dapat disalahkan kepada generasi muda, bagi generasi muda disituasi terisolasi ini mereka tetap membutuhkan dukungan sosial dari teman-temannya. Di saat situasi pandemi mereka terpaksa berhubungan melalui digital sehingga memberikan kesan bahwa aktivitas screen time mereka bertambah atau main handphone terus. Sedangkan, bila mereka ingin berkumpul dengan teman-temannya orangtua juga akan menganggap bahwa anak mereka bandel, tidak patuh himbauan physical distancing. Padahal untuk remaja dan pemuda, saling terhubung satu sama lain merupakan kunci untuk rasa saling memiliki dan meraih kebahagiaan mereka secara keseluruhan. Bahkan kondisi terisolasi jangka panjang dan tidak dapat ke sekolah atau kampus dapat mengikis jaringan dukungan sosial yang dibangun oleh anak muda satu sama lain.
Terlepas dari berbagai dampak Covid-19 pada kehidupan generasi muda, banyak remaja dan generasi muda yang langsung dimobilisasi untuk menanggapi krisis. Bahkan dalam kondisi kekurangan alat pelindung diri, para pemuda dari kalangan profesional maupun mahasiswa mempertaruhkan hidup mereka di garda depan pandemi. Para pemuda yang berprofesi sebagai peneliti dan spesialis, perempuan serta laki-laki, juga turut membantu memerangi penyakit ini dengan berkontribusi pada pengembangan tindakan penyelamatan jiwa, mendukung intervensi medis yang dapat diimplementasikan dan direplikasi dengan cepat (seperti ventilator sederhana dan murah), berkontribusi pada penciptaan pengetahuan dan menyebarkan informasi ilmiah berbasis fakta secara online.
Sektor kesehatan telah menjadi lapangan pekerjaan terbesar bagi anak muda, dan penyerapan tenaga kerja di sektor ini telah meningkat lebih cepat untuk anak muda dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Tren ini tercermin di sebagian besar negara terlepas dari konteks sosial ekonominya. Selain mereka yang berada di sektor kesehatan, para anak muda lainnya berada di garda depan dalam inisiatif komunikasi risiko, melakukan advokasi dan kampanye cuci tangan, serta melawan hoaks whatsapp keluarga, informasi yang keliru, dan stigma di komunitas mereka.
Banyak yang secara sukarela membantu orang tua dan populasi rentan lainnya, berkontribusi sebagai ilmuwan, wirausahawan sosial, dan inovator. Disini kita dapat melihat betapa pentingnya peran yang dimainkan generasi muda dalam memobilisasi komunitas mereka, mengubah perilaku masyarakat, dan mendistribusikan makanan serta barang-barang non-makanan kepada orang-orang yang dikarantina di rumah dan kepada mereka yang membutuhkan. Bermitra dengan aktor-aktor pembangunan dan pemerintah, generasi muda mengumpulkan data secara real time, melawan ketakutan dan ketidakpercayaan, dan menyebarkan informasi yang akurat dengan cara-cara yang menghormati nilai-nilai dan tradisi setempat.
Generasi muda saat ini lebih banyak mengakses dunia digital dibandingkan generasi sebelumnya. Positifnya dengan banyaknya kegiatan dan institusi penting yang bergerak secara online, generasi muda berada dalam posisi yang strategis untuk merespons dan beradaptasi dengan korona. Mereka juga dapat membantu mengurangi dampak dan konsekuensi dari krisis dalam jangka panjang, di antaranya dengan melibatkan diri dalam isu-isu seperti mendorong kesatuan dan persatuan masyarakat dan melawan ujaran kebencian, xenofobia, pelanggaran hak asasi manusia, dan kekerasan, dan dengan membangun inisiatif yang kuat dan inklusif. Melalui media sosial, mereka menemukan cara untuk memeriksa kesehatan mental teman-teman dan keluarganya. Meskipun resesi global kemungkinan menjadi konsekuensi dari pandemi korona, dan akan mempengaruhi mata pencaharian anak muda secara signifikan.
Namun, istimewanya generasi muda, mereka tetap memainkan peran utama dalam berbagai protes massa yang jumlahnya semakin banyak di seluruh dunia, mereka memperjuangkan perubahan dalam struktur pemerintahan, ketidaksetaraan ekonomi, inklusi demokratis, respons terhadap perubahan iklim, dan banyak lagi. Sayangnya jaga jarak (physical distancing) membuat banyak pergerakan mereka terhambat, berpotensi menghambat kemajuan saat ini. Oleh karenanya dapat kita lihat dalam peristiwa viral UU Cipta Kerja, anak muda utamanya mahasiswa dibeberapa kampus sempat dibuat repot dan dilematis dengan situasi yang ada.
Sebagian ada yang berjuang melalui kampanye online guna mencegah penyebaran virus Corona, adapula yang berjuang melalui demonstrasi offline dan turun ke lapangan. Namun pada hakikatnya tujuan mereka sama, yaitu memperjuangkan para buruh demi kesejahteraan rakyat. Para orangtua setidaknya perlu memahami bahwa terlepas situasi pandemi atau pun tidak, generasi muda memang perlu wadah penyaluran untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama. Bukan malah menghalangi atau bahkan memarahinya.
Mungkin gagasan yang mereka bawa terdengar utopis saat ini, tapi mungkin itulah alasan Bung Karno berujar “Berikan 10 pemuda maka kan ku guncangkan dunia”. Karena mereka gigih berjuang demi kesejahteraan. Oleh karenanya sangat diperlukan sikap saling memahami diantara orangtua dan generasi muda saat ini. Satu sisi generasi muda sangat terdampak isolasi ini. Kehilangan masa sekolah, pertemanan dan sosialisasi. Orangtua perlu memberi dukungan ekstra dengan tetap memberi ruang kebebasan agar pemuda dapat mengekspresikan dirinya sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meluangkan waktu bersama, mendukung kegiatan positif mereka sekecil apapun itu, memastikan kehidupan dunia mayanya aman dari bullying dan berdiskusi ketika ada masalah.
Di sisi yang berlawanan beberapa orangtua juga sangat terdampak karena kondisi isolasi pandemi. Kehilangan pekerjaan atau konsumen sehingga membuat financial stress, sedangkan generasi muda masih meledak-ledak kemauannya. Nah kalau gini orangtua dan anaknya perlu terlibat dalam financial planning keluarga berdiskusi dan pilihlah tentang apa yang dibutuhkan dengan apa yang diinginkan agar pengeluaran biaya aman terkendali.
Setiap orang tentu punya versinya masing-masing dalam menjalin hubungan keluarga yang baik. Adanya kebijakan physical distancing akibat pandemi Corona ini, membawa ritme baru dalam interaksi antara orang tua dan anak. Aktivitas dan ritme yang selama masa physical distancing dilakukan bersama akan menjadi kebiasaan yang dilakukan pada masa selanjutnya. Oleh karena itu orang tua dan anak muda di momen yang epic ini perlu terbiasa melakukan segala hal bersama, mulai dari olahraga, makan, menonton dan bermain bersama.
Jika biasanya sebelum masa physical distancing kita perlu mengeluarkan uang untuk membuat quality time di luar rumah dengan nonton di bioskop atau jajan di luar, setelah physical distancing membentuk ikatan erat antara orang tua dan anak semuanya terpusat di rumah dan bisa gratis. Dengan ritme baru ini, aktivitas bersama bukan sekadar formalitas, tetapi seluruh anggota keluarga betul-betul hadir secara fisik dan batin.