Menjadi Indonesia : sebuah pencarian narasi mengikis vandalisme pada generasi muda
Mental penentang yang vandal nan destruktif dialihkan menjadi mental pemenang

Kembalikeakar.com – Dua pemuda dengan cekatan mencopot besi pembatas jalan dan mengopernya kepada temannya di seberang. Sementara beberapa terlihat mencorat-coret kata dan simbol umpatan pada fasilitas umum sebagai kanvasnya. Tidak cukup sampai disitu, kelompok pemuda lain membuat ‘api unggun’ di dalam halte Transjakarta dengan menggunakan kardus dan bangku kayu.
Beberapa minggu terakhir, terjadi aksi demonstrasi yang kerap diwarnai oleh tindakan vandalisme di ibukota dan beberapa kota besar lainnya. Mirisnya, mayoritas dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa, generasi muda.
Tahun lalu saya bersama YouthLab mengadakan riset di Bandung, Jawa Barat. Kami menelusuri, mendokumentasi pola pemicu vandalisme. Waktu itu, di alun-alun kota Bandung, kelompok yang menamakan dirinya ‘anarko’ menjalankan aksi vandal dengan mencorat-coret pagar di depan Gedung Sate.
Kemudian apa yang melatarbelakangi generasi muda melakukan aksi vandalisme?
Temuan riset yang melibatkan beberapa responden pelajar dan mahasiswa, mengutarakan bahwa saat ini tuntutan akademis sangat sulit. Banyaknya PR, ujian dan tumpukan beban tugas lainnya memantik rasa stress yang berat.
Hal ini bisa memicu tindakan mencari ‘pelarian’ atau ‘pengalihan’. Ada yang positif tetapi lebih banyak negatifnya, terutama saat mengambil referensi dari sosial media. Melalui ruang digital, mereka menyaring informasi secara “sepenggal-sepenggal”, berujung pada ikut-ikutan, termasuk mudahnya ter-trigger melakukan aksi vandalisme.
Energi dan emosi pada usia muda memang berada pada fase, yang dengan meminjam istilah jaman sekarang, disebut ‘labil’. Tuntutan orang tua, sekolah, pertemanan dan juga pasangan menyulut dilema yang sering ‘bikin galau’.
Dulu ada majalah Gadis, Hai, Kawanku yang memiliki rubrik tentang kesehatan mental atau konsultasi psikologi. Sayangnya, kanal media majalah kini tergantikan perannya oleh sosial media.
Faktor kedua adalah kurangnya role model yang bernarasi mengenai pengendalian emosi serta bagaimana mengatasi stress. Kebanyakan tokoh yang berbicara mengenai tema ini adalah para ahli yang “jauh” dari anak muda, tidak relevan karena hanya berbicara melalui forum-forum formal.
Ironisnya, temuan riset juga mendapati tokoh muda yang dikagumi adalah tokoh aktivis yang mungkin tidak semua memiliki pemahaman kontekstual atau mengerti betul mengenai apa yang sedang diperjuangkan.
Ketiga adalah tentang eksistensi. Sejak awal menggeluti riset perilaku anak muda, ada dua frasa kunci yang sangat mendasari perilaku generasi ini: “Feel Significant” dan “Sense of Belonging”.
Ketika generasi muda membutuhkan adanya pengakuan dan eksistensi, yang jarang mereka dapatkan di sekolah apalagi di rumah, mereka menemukannya pada komunitas.
Sama seperti pola sebelumnya, ada yang berkomunitas secara positif tetapi ada juga yang lari kearah negatif, yang menemukan aktualisasi dirinya dari kelompok ‘anarko’ / vandal. Mereka melampiaskan kemarahan, caci maki, omelan dengan kaleng pilox, berekspresi di tembok, merasa puas.
Ketiga faktor tersebut beririsan dengan kehidupan sosial generasi muda, sulit terkikis.
Lalu apakah masih ada cara untuk mengeradikasi perilaku vandalisme ini?
Salah satunya adalah dengan membangun kembali narasi bermasyarakat santun melalui kultur populer. Penggiat literasi kultur populer dapat berkolaborasi menghasilkan karya bersama generasi muda.
Bentuk konkret yang dapat dilakukan adalah bekerjasama dengan sekolah melalui program kolaborasi yang turut melibatkan siswa/i dengan karya seni baik itu film, musik, literatur serta seni pertunjukkan yang mengusung tema anti-vandalisme.
Aksi corat-coret yang biasa dilakukan secara barbar, tidak pada tempatnya dapat diarahkan menjadi karya mural, dibimbing langsung oleh mentor / role model yang bergiat dengan seni graffiti.
Energi / emosi negatif juga dapat dilebur menjadi karya musik dan pentas seni. Emosi bisa dituangkan ke dalam lirik lagu, rasa marah bisa disalurkan ke penjiwaan seni teater misalnya.
Seni dan kultur populer menciptakan proses behavioral-change yang natural bagi generasi muda. Bentuk kolaborasi kultur populer yang relevan, apalagi jika dimentori oleh role model yang mereka idolai. Energi negatif akan terevaporasi, digantikan oleh energi positif dan produktif.
Pada jenjang yang lebih tinggi, lingkungan kampus dapat membuat coaching clinic yang melibatkan UMKM, pelaku industri kreatif, generasi muda sebagai role model itu sendiri. Hal ini bertujuan untuk memberi inspirasi dari sektor dunia usaha.
Mahasiswa didorong sedari dini untuk menjadi pelaku usaha dan memulai inkubator bisnisnya. Sehingga kelak menyongsong tahun 2030, masa bonus demografi, Indonesia niscaya akan kebanjiran lapangan pekerjaan. Sektor usaha yang digagas para young entrepreneur . Mental penentang yang vandal nan destruktif dialihkan menjadi mental pemenang.
Sudah saatnya generasi muda kembali memiliki narasi yang beradab dalam membangun negeri. Membayangkan dan berimajinasi tentang seperti apa Indonesia di masa depan, dengan luhurnya niat, tanpa merusak.
Keadaan yang sama dihadapi oleh sekelompok pemuda berbagai latar belakang, di satu kost-kostan, 92 tahun silam. Mereka membangun narasi dari kekosongan, kerusakan dari penjajah, jauh sebelum merasakan kemerdekaan. Sebuah penyaluran emosi, juga dalam coretan dan torehan tinta, pernyataan sumpah, konsep besar tentang menjadi Indonesia.