Pasar dan Karir Kembali Ke Akar: Masa Depan Dunia Kerja Bagi Generasi Pandemi
Daftar Isi
Glorifikasi Teknologi
Pada akhir tahun 90-an pasar dunia tengah menyambut dengan gegap-gempita perkembangan teknologi digital. Perusahaan-perusahaan berbasis ‘dotcom’ menjadi sasaran investasi para pemegang kapital. Sedangkan, pada tahun 1999 komputer-komputer di berbagai belahan dunia masih menggunakan intel pentium III, perangkat keras bernama flash-disk baru diperkenalkan, situs Napster untuk mengunggah musik dalam format mp3 secara gratis perdana tayang, perusahaan mobile phone blackberry baru saja diresmikan, dan Alibaba baru saja didirikan oleh Jack Ma bersama 17 sahabatnya.
Pada tahun 1999, nilai perusahaan-perusahaan dotcom melonjak pesat. Namun, berselang 3 tahun kemudian, pada tahun 2002 seluruh valuasi dari perusahaan-perusahaan dotcom jatuh drastis, beberapa diantaranya pailit. Fenomena ekonomi ini dikenal dalam sejarah sebagai dot-com bubble. Yaitu peristiwa dimana narasi dan ekspektasi terhadap teknologi melampau kesanggupan dari teknologi itu sendiri sebagai sebuah alat yang mendukung kehidupan manusia. Tiga belas tahun setelah dot-com bubble, dunia disuguhkan kembali dengan narasi teknologi digital. Sebuah narasi yang begitu menjanjikan juga dahsyat hingga diutarakan dalam world economic forum oleh seorang ekonom terkemuka Klaus Schawb. Narasi tersebut bertajuk ‘revolusi industri 4.0’.
Bangunan narasi revolusi industri 4.0 bertumpu pada sebuah pilar utama, pilar tersebut adalah Moore’s Law. Moore’s Law adalah sebuah proyeksi yang dibuat berdasarkan observasi Gordon Moore (co-founder dari intel dan penemu mikroprosesor). Gordon Moore memproyeksikan bahwa perkembangan teknologi mikroprosesor akan mengalami percepatan eksponensial di masa depan. Yaitu, tren perkembangan kemampuan mikroprosesor yang akan berlipat ganda setiap kali dan dalam rentang waktu yang semakin pendek. Karena, mikroprosesor merupakan jantung dari setiap teknologi digital pada abad ke 21, maka tren eksponensial ini akan turut mempengaruhi setiap lini kehidupan yang beririsan dengan teknologi digital.
Narasi revolusi industri 4.0 tak berhenti pada percepatan laju mikroprosesor, ia juga berbicara tentang artificial intelligence dan otomatisasi. Kedua hal tersebut, disebut-sebut akan membantu kehidupan generasi masa depan menjadi lebih efisien serta lebih praktis. Artificial Intelligence diyakini akan melampaui berbagai dimensi kemampuan intelektual manusia. Belum lama ini, pada tahun 2016 piranti Alphago dari Googledeepmind yang disebut sebagai salah satu bentuk artificial intelligence berhasil mengalahkan Lee Sedol juara dunia permainan Go dari Korea Selatan. Keberhasilan Alphago mereplika pertandingan catur antara Deepblue dari IBM melawan juara dunia catur Kasparov pada tahun 1997.
Separasi Narasi
Narasi teknologi selalu menawarkan tatanan dunia yang membebaskan manusia dari berbagai belenggu baik sosial maupun material. Sebagai contoh, narasi revolusi industri 4.0 memprediksi bahwa dengan otomatisasi di berbagai lini industri, generasi yang berada di usia produktif akan memiliki waktu kerja yang lebih sedikit, sehingga waktu yang tersisa dapat dikompensasikan untuk hiburan bagi diri. Di tempat lain, narasi yang sama juga menawarkan sebuah mimpi untuk ‘follow your passion’ yaitu melakukan hal yang benar-benar disukai dalam hidup. ‘Do what you love’ menjadi sebuah mantra global bagi generasi muda setelah diutarakan oleh Steve Jobs pada tahun 2005 di sebuah forum Universitas Stanford. Pada kenyataanya, bila kita memisahkan narasi dengan kondisi aktual dari laju revolusi industri digital kita akan banyak menemukan spektisisme.
Berdasarkan liputan khusus dari Vice berjudul ‘The future of work’ perusahan raksaksa Amazon merupakan perusahaan e-commerce dengan 50 persen keuntungan (tertinggi) diantara seluruh perusahaan e-commerce lainnya di Amerika Serikat. Akan tetapi, Amazon merupakan perusahaan dengan daya serap tenaga kerja terendah diantara perusahaan digital dan e-commerce lainnya. Dalam kondisi tersebut, Amazon bahkan bersiasat untuk lebih banyak menggunakan otomatisasi di masa depan. Mantra ‘follow your passion’ juga menjadi sebuah mantra yang berdampak negatif bagi regenerasi ragam ranah kerja di Indonesia, terutama di bidang agraris. Begitu banyak anak muda yang pergi dari desa untuk ke kota demi ‘mengejar passion’, mereka ‘check-in-check out’ dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain dengan mudah. Sebab, ekspektasi terhadap kerja yang diemban lebih bersifat egosentris yaitu ‘apa yang bisa ditawarkan pekerjaan ini terhadap passion saya’ bukan sebaliknya.
Revolusi dunia digital juga berdampak terhadap kondisi mental generasi muda. Kini, kita harus berhadapan dengan berbagai permasalahan kesehatan mental baru seperi kecemasan, perasaan kesepian, hingga ‘FOMO’ atau fear of missing out. Bahkan sebuah artikel jurnal psikologi klinis yang ditulis oleh Twenge dkk pada tahun 2017 membuktikan adanya hubungan perasaan depresif pada remaja dengan intensitas screen time tinggi dalam bermedia sosial. Konversi kehidupan sosial remaja ke ranah digital ternyata tidak selalu berdampak positif. Terdapat aspek-aspek penting perkembangan emosi dan empati yang tidak dapat tergantikan oleh teknologi.
Marvin Minsky
Salah satu futuris ternama Ray Kruzweil dalam bukunya ‘Singularity is near’ menyatakan bahwa dalam rentang waktu 30 tahun kedepan singularity dari artificial intelligence akan tercapai. Singularity adalah kondisi dimana artificial superintelligence akan mengubah berbagai tatanan kehidupan di masa depan, bahkan melampaui kecerdasan manusia itu sendiri. Salah satu contoh yang diberikan oleh futuris ternama Ray Kruzweil tentang singularity adalah kemampuan AI untuk menciptakan mahakarya seni. Sebuah software di masa yang akan datang akan sanggup untuk melampaui kemampuan manusia dalam menulis puisi maupun menciptakan bait lagu. Bahkan, Kruzweil meyakini tak lama lagi teknologi biomedis berupa teknologi nano akan sanggup untuk menyembuhkan berbagai penyakit berat, bahkan diperjual-belikan secara luas di pasar swalayan.
Artificial intelligence pada saat ini merupakan konsumsi sehari-hari generasi muda, baik disadari maupun tidak. Mesin pencari web Google memiliki kemampuan AI untuk mengetahui apa saja yang hendak dicari oleh seorang anak muda bahkan sebelum ia selesai mengetik apa yang hendak ia cari. AI juga dapat ditemukan oleh seorang anak muda dalam berbagai video games. Sampai tingkat tertentu tokoh di dalam game dapat berpikir dan mengambil keputusan menyerupai manusia dalam kehidupan sehari-hari. AI sendiri merupakan replika dari intelegensia manusia. Dimensi intelegensia sendiri merupakan hasil analisa manusia terhadap dirinya sendiri. Ilmu psikologi secara pesat mengembangkan konsep intelegensi pada masa perang dunia pertama dalam rangka menseleksi para prajurit yang akan turun ke medan perang. Sebagian dari alat tes yang dikonstruksikan pada masa perang dunia kedua tersebut masih dikembangkan dan dipergunakan oleh psikologi untuk mengukur intelegensia seseorang hingga saat ini.
Marvin Minsky, seorang pakar dalam dunia AI yang paling disegani, turut mengambil disiplin psikologi sebagai referensi utama dalam merancang arsitektur AI. Dengan demikian, AI sebagaimana kita gunakan sehari-hari merupakan replika dari cara berpikir manusia sebagaimana telah dipahami oleh psikologi. Namun, Minsky meyakini bahwa tidak semua cara berpikir manusia bersifat intelligent (dengan menggunakan kognisi). Selain itu, cara berpikir manusia bersifat semi-autonomous, oleh karena itu tidak bisa disamakan dengan AI. Argumen tentang singularity merupakan premis yang diyakini oleh Minsky, walau ia tidak ketahui secara pasti kapan singularity itu akan terjadi. Namun, pada kenyataanya ilmuwan psikologi sejak era psikoanalisa Sigmund Freud hingga neurosains saat ini belum pernah mengklaim bahwa mereka sepenuhnya memahami misteri intelegensia manusia. Bahkan tes intelegensia hingga kini masih menggunakan pendekatan yang ditemukan pada perang dunia pertama.
Diversitas Generasi Indonesia
Sejak era revolusi kemerdekaan, para founding fathers kita yang pada masa tersebut masih berusia muda, menyadari realitas keberagaman sosial Indonesia. Industrialisasi yang memasuki fase baru, dari industri berbasis perkebunan ke pembangunan infrastruktur berupa transportasi rel kereta api, dianggap eksploitatif terhadap sumber daya alam dan masyarakat bumiputera. Kolonialisme yang beroperasi dengan pendekatan monopoli ekonomi serta ideologi kapitalis hanya mensejahterakan segelintir elit masyarakat. Oleh Karena itu, gagasan-gagasan alternatif seperti sosialisme dan serta aksi boikot terhadap industri kapitalis digunakan oleh para pemuda era revolusi untuk mewujudkan perubahan sosial.
Salah satu isu sentral dalam perjuangan para pemuda pada masa revolusi kemerdekaan adalah isu pekerjaan. Para pemuda memiliki sebuah visi tentang pekerjaan yang lebih bermartabat, mensejahterakan, serta sesuai dengan keberagaman karakter bangsa Indonesia. Bung Hatta dalam salah satu pidato ekonominya pada masa awal kemerdekaan bahkan secara tegas meyatakan bahwa Indonesia harus mengikuti perkembangan global zaman, namun tidak cocok apabila menerapkan industralisasi secara 100 persen. Sebab, Indonesia sejatinya ada
lah negara bercorak agraris. Dengan demikian, harus disesuaikan dengan karakter indigenous dari bangsa Indonesia.Andrew Keen seorang intelektual yang mengkaji secara mendalam kultur internet dan penulis buku ‘Internet is not the answer’, menyangkal anggapan bahwa revolusi industri digital akan menyerap tenaga kerja secara lebih beragam. Asumsi ‘longtail’ bahwa internet akan menyediakan pasar yang spesifik, segmented, dan niche bagi setiap orang ternyata tidak terwujud. Nyatanya, internet malah menciptakan elit-elit baru di media seperti youtube dan instagram yang mengambil keuntungan besar tanpa perlu melibatkan expertise dari ranah yang beragam. Berbeda dengan industri media konvensional seperti radio dan televisi yang melibatkan ranah pekerjaan yang beragam dari mulai agency advertising, publicist, industri entertainment, fotografer, kameraman, editor, scriptwriter, wartawan peliput, penulis, hingga manajer HRD. Bahkan sebagian dari profesi-profesi tersebut kini terancam karena geliat revolusi industri digital.
Pekerjaan masa depan bagi masyarakat Indonesia harus dikonstruk sendiri oleh generasi muda Indonesia. Generasi muda tidak boleh tunduk secara penuh kepada narasi pasar. Sebab, sebuah pekerjaan memiliki fungsi yang demikian penting bagi kehidupan seorang anak muda, bukan hanya sebatas memenuhi kebutuhan finansial, namun ia juga memberikan sebuah identitas sosial, makna, dan perasaaan fulfillment dalam kehidupan. Langkah pertama yang perlu diambil adalah melepaskan belenggu generasi muda dari berbagai narasi masa depan yang tidak sesuai kesejatian dirinya. Selanjutnya, ia perlu mendalami literasi tentang akar potensi ekonomi dan sosial-budaya yang berada di lingkungannya.
Pemuda-pemuda Indonesia perlu optimis dalam membangun sendiri gerakan ekonomi dari akar rumput dalam menyambut peristiwa penting pada tahun 2028 hingga 2035, yaitu puncak dari bonus demografi. Modalitas berupa jumlah usia produktif bisa menjadi daya dorong dalam mewujudkan imajinasi baru dunia kerja di Indonesia yang pada masa sebelumnya sulit untuk diwujudkan, seperti anak muda yang bekerja di perkebunan, pertanian, perikanan dan kehutanan. Kolaborasi lintas komunitas anak muda yang kini telah berkembang bisa menjadi infrastruktur sosial utama dalam memperkaya ragam tenaga kerja yang tersedia. Selain itu gerakan kembali ke akar, yaitu mengenali jati diri dan potensi lokal merupakan sebuah kunci yang akan membuat ketersediaan lapangan kerja sustainable (langgeng).
Bangsa Indonesia selalu meyakini bahwa alam merupakan guru terbaik. Alam pun selalu mengajarkan tentang pentingnya keberagaman dalam proses adaptasi, survival, dan menciptakan kelanggengan. Gerakan generasi muda kembali ke akarnya sejatinya dapat diibaratkan seperti sebuah benih yang ditanam di dalam tanah. Apabila sebuah benih ditanam di dalam tanah maka hal pertama yang akan tumbuh adalah akarnya sebelum ia menjulang secara vertikal keatas. Dengan demikian, gerakan kembali ke akar bukan sebuah gerakan regresi maupun kemunduran maupun gerakan anti-kemajuan, namun siasat generasi untuk menciptakan sebuah ekosistem yang lebih resilient dan sustainable untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana diutarakan oleh para founding fathers. Yaitu Indonesia yang bahagia!
Artikel ini merupakan intisari materi webinar penulis pada acara Festival 1000Tenda Kaldeira 2020