Inspirasi Kebangsaan “Generasi Wifi” di Masa Pandemi Covid 19
Bersama dalam perbedaan jauh lebih indah serta bermakna dibanding bersama dalam kesamaan.
Kembalikeakar.com – Bagi “generasi wifi,” media digital sudah menjadi bagian dari kebutuhan hidup. Tentunya karakteristik “generasi wifi” tidak lepas dari pengaruh dan dampak negatif dari kemajuan teknologi media digital. Melalui akses media internet, “generasi wifi” sangat dipengaruhi pola, gaya hidup, dan nilai-nilai budaya dari bangsa luar dibanding dengan kearifan lokal budaya Indonesia.
“Generasi wifi” Indonesia seperti ‘orang asing’ di negeri sendiri. Mereka tidak mengenal dan memahami seperti apa keberagaman dan sejarah kebudayaan bangsanya? “Generasi wifi” lebih ‘up–to–date’ dengan film-film Hollywood, K-Pop, drama Korea, artis Bollywood, Justin Bieber, Selena Gomez, Messi dan Ronaldo daripada “Sumpah Palapa,” kesenian wayang, musik gamelan, suku Tengger, suku Dayak, kerajaan Kutai, kesenian barongsai, candi hingga cerita Panji.
Sedikit uraian penjelasan mengenai cerita Panji akan dibahas disini.
Kisah Mahabarata dan Ramayana yang berasal dari India memiliki pengaruh kuat bagi perkembangan kebudayaan nusantara di jaman Hindu-Budha. Cerita Panji adalah karya kesusasteraan asli yang berasal dari nusantara, tidak dipengaruhi kisah Mahabarata dan Ramayana.
Pada tanggal 13 Oktober 2017, UNESCO telah resmi menetapkan cerita Panji sebagai “ingatan dunia,” atau Memory Of The World (MoW). Cerita Panji diperkirakan sudah dikenal sejak dari abad 11 di masa Kerajaan Kadiri (Panjalu-Daha) dan berkembang pesat pada abad 14 di masa kerajaan Majapahit.
Di masa kerajaan Majapahit, cerita Panji banyak memberi pengaruh pada perkembangan kesenian, seperti tari, wayang, hingga dipahatkan pada relief-relief candi. Cerita Panji tidak hanya dapat ditemukan di pulau Jawa, akan tetapi hampir di seluruh wilayah nusantara bahkan hingga Kamboja, Thailand, Filipina, dan Myanmar.
Cerita Panji telah menjadi media pemersatu kerajaan-kerajaan di nusantara dan kawasan Asia Tenggara di masa kerajaan Majapahit.
“Generasi wifi” terbiasa beraktivitas dengan diri sendiri, menghabiskan waktu bersama internet, kurang berinteraksi dan bersosialisasi secara langsung dengan masyarakat di lingkungan sekitar. Mereka bahkan tidak pernah menyadari kalau dirinya menjadi pribadi yang lebih individualis dikarenakan aktivitas serta interaksi sosial yang dilakukan lebih banyak dengan internet.
Sebelum pandemi Covid 19 menyerang Indonesia, bangsa ini pernah diterpa isu-isu SARA dan diskriminasi terhadap nilai-nilai kearifan lokal serta keberagaman budaya Indonesia. Bangsa Indonesia hampir mengalami perpecahan dikarenakan ujaran kebencian dan rasa saling bermusuhan antar sesama anak bangsa.
Kata-kata Bung Karno “perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri,” ungkapan yang kiranya dapat dipakai untuk memaknai keadaan bangsa Indonesia saat itu yang berada diambang disintegrasi.
Keadaan bangsa Indonesia yang dipenuhi dengan sentimen antar etnis, tradisi, dan budaya justru menjadikan “generasi wifi” semakin jauh dari semangat persatuan, toleransi, dan gotong-royong.
Padahal persatuan, toleransi, dan gotong royong yang menjadi nilai-nilai kepribadian bangsa ini, dibentuk melalui proses perjalanan kesejarahan yang panjang, ratusan tahun silam sebelum ikrar kebangsaan ‘Sumpah Pemuda,’ yang dicetuskan pada 28 Oktober 1928, atau proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
Kerajaan Majapahit yang berdiri 1293 M, merupakan salah satu kerajaan Hindu-Budha di nusantara yang mengukirkan kejayaan dan kebesaran peradaban dengan tinta emas. Kejayaan dan kebesaran peradaban kerajaan Majapahit banyak memberi inspirasi bagi “founding fathers” pendiri bangsa Indonesia. Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya, seorang ksatria hebat yang berasal dari tanah Jawa.
Kerajaan Majapahit telah meninggalkan banyak bukti kesejarahan yang dapat menggambarkan kejayaan dan kebesaran peradabannya. Sumpah Palapa, diucapkan Mahapatih Gajah Mada, sebuah ikrar yang menegaskan cita-cita kerajaan Majapahit untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan di seluruh nusantara.
Semboyan persatuan dan toleransi bangsa Indonesia, “Bhinneka Tunggal Ika,” diambil dari frasa kitab Sutasoma karya Mpu Tantular di masa kerajaan Majapahit. Di dalam kitab Sutasoma diterangkan bahwa Siwa-Buddha adalah berbeda. Tapi kebenaran Siwa-Buddha sejatinya tunggal. Kebenaran Siwa – Buddha tidak berbeda, karena tidak ada kebenaran mutlak yang mendua, atau berbeda tapi satu.
Di zaman kerajaan Majapahit, Sang Saka Merah Putih sudah berkibar. Sang Saka Merah Putih bendera kebesaran kerajaan Majapahit dinamakan dengan Panji Getih-Getah atau Gula-Kelapa.
Kebesaran serta kejayaan kerajaan Majapahit juga ditandai dengan kemajuan di bidang Alutsista (Alat Utama Sistem Pertahanan). Kekuatan armada laut kerajaan Majapahit sudah dilengkapi dengan persenjataan meriam.
Teknologi pembuat meriam sudah sangat dikuasai masyarakat nusantara. Meriam di zaman kerajaan Majapahit disebut dengan “Cetbang.” Meriam laras pendek berbahan logam perunggu merupakan persenjataan tempur paling canggih di zamannya.
Penyebaran wabah pandemi Covid-19 yang melanda negara-negara di dunia, tak terkecuali juga Indonesia. Pandemi ini telah banyak menciptakan kesulitan, kesedihan, dan penderitaan hidup seluruh masyarakat. Berbagai upaya dilakukan untuk menanggulangi penyebaran Covid-19.
Salah satu cara untuk memutus mata rantai penyebaran pandemi Covid-19 adalah membatasi interaksi sosial berskala besar, berjaga jarak, dan setiap orang dianjurkan untuk lebih banyak tinggal di rumah.
Krisis global pandemi Covid-19 secara langsung juga berdampak dan berpengaruh pada perkembangan mental atau psikis “generasi wifi.” Kini mereka hidup dalam keadaan yang serba dibatasi, dihinggapi rasa jenuh, tiap hari mendengar berita kematian, orang tertular, melihat penderitaan banyak orang karena kesulitan ekonomi, penggangguran, atau putus asa.
Untuk dapat mengakhiri krisis pandemi Covid-19, “generasi wifi” dan seluruh lapisan masyarakat, kini bersatu bersama-sama melawan pandemi Covid-19 dengan tinggal di rumah saja. Rasa kebersamaan, persatuan, dan gotong- royong diperlukan untuk melawan, mengurangi beban penderitaan dan kesulitan-kesulitan akibat dampak dari Covid-19.
Rasa solidaritas dari seluruh anak bangsa yang tidak lagi memandang perbedaan suku, agama. Budaya telah merekat kembali masyarakat untuk bersama-sama bersatu menghadapi serta melawan serangan pandemi Covid-19.
Solidaritas karena rasa senasib dan sepenanggungan, semangat bersatu tanpa rasa diskriminasi saat melawan pandemi Covid-19 dapat menjadi ‘experience’ dan jendela ‘cakrawala’ bagi “generasi wifi” untuk melihat, mengenal lebih dekat dan kembali ke akar nilai-nilai kearifan lokal dan keberagaman budaya Indonesia.
Di tangan “generasi wifi” yang sudah ditempa krisis karena pandemi Covid-19, Indonesia di masa depan nanti lebih berbudaya karena mereka mampu menghargai segala warna perbedaan.
Bersama dalam perbedaan jauh lebih indah serta bermakna dibanding bersama dalam kesamaan.
Editor:
Muhammad Faisal
3 Comments